Jumat, 27 November 2009

Bukan Sekedar Ibnu Saba’!

Ketika berbicara tentang sejarah munculnya syiah, kebanyakan orang berkonsentrasi pada sejarah seseorang yang bernama Abdullah bin Saba’ (Selanjutnya kita tulis Ibnu Saba’), seorang yahudi yang berpura-pura masuk Islam untuk merusak Islam dari dalam. Akan tetapi, rasanya terlalu berlebihan jika seorang Ibnu Saba’ dijadikan faktor tunggal munculnya “para penyempal aqidah” ini. Beberapa ahli sejarah menemukan fakta, bahwa faktor Ibnu Saba’ juga didukung oleh faktor lain. Faktor lain yang dimaksud adalah faktor Imperium Persia -sekarang Iran-, yang ditaklukkan oleh kaum muslimin dibawah pimpinan Umar bin Khattab radiallahu anhum.

Sejarah telah menuliskan, bahwa dari dahulu kala sebelum masa kenabian selalu terjadi persaingan antara bangsa Persia dan bangsa Arab, baik dari segi kebudayaan maupun dari segi kepercayaan agama. Persaingan ini sering berujung pada peperangan yang berakhir pada kemenangan bangsa Persia (Syiah, Imam Mahdi dan Duruz: Sejarah dan Fakta oleh Abd al-Mun’im al-Nimr -edisi terjemahan oleh Ali Mustafa Ya’qub-; Qisthi Press,Jakarta 2003, hal. 26 dan seterusnya). Namun zaman kegemilangan bangsa Persia berakhir di era kekhalifaan Umar bin Khattab radiallahu anhum, dimana Kerajaan Sasanid Persia berhasil diruntuhkan oleh kaum muslimin, dan pemerintahannya pun diganti dengan pemerintahan Islam. Hal tersebut menjadi tragedi yang sangat menyakitkan bagi bangsa Persia. Sebagian dari mereka memeluk Islam dengan ikhlas, tapi sebagian lagi –pada umumnya- memeluk Islam dengan pura-pura dengan tujuan menghancurkan Islam dari dalam (Syiah, Imam Mahdi dan Duruz: Sejarah dan Fakta oleh Abd al-Mun’im al-Nimr -edisi terjemahan oleh Ali Mustafa Ya’qub-; Qisthi Press,Jakarta 2003, hal. 31 dan seterusnya).

Sejak itu, mereka berusaha melakukan berbagai upaya untuk menghancurkan Islam. Kejayaan pertama gerakan munafiqin ini adalah ketika mereka berhasil melancarkan operasi pembunuhan terhadap Umar bin Khattab radiallahu anhum, kemudian dilanjutkan dengan bantuan Ibnu Saba’, mereka menaburkan benih-benih kedengkian yang akhirnya berujung pada terbunuhnya Utsman bin Affan radiallahu anhum. Pasca terbunuhnya Utsman bin Affan radiallahu anhum, kaum muslimin sepakat membaiat Ali bin Abi Thalib radiallahu anhum sebagai khalifah. Namun ketika itu, terjadi perbedaan pendapat diantara para sahabat perihal pembunuh Utsman. Ali bin Abi Thalib radiallahu anhum beserta beberapa sahabat lain berpendirian untuk menunda hukuman kepada pembunuh Utsman karena negara sedang dalam keadaan kacau dan tidak terkendali, sedangkan Muawiyyah dan beberapa sahabat lain (termasuk ummul mukminin Aisyah radiallahu anha) berpendapat agar hukuman terhadap pembunuh Utsman segera dijalankan, dan justru itulah yang akan menenangkan suasana dan kembali mempersatukan kaum muslimin. Keadaan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh bangsa Persia dengan menyebarkan isu bahwa kedua kelompok telah bersiap-siap untuk saling serang, sehingga akhirnya terjadilah perang Siffin dan perang Jamal

(Kisah-kisah sejarah dalam peristiwa-peristiwa di atas banyak yang tidak benar sekalipun yang tertulis dalam rujukan formal seperti silabus sejarah persekolahan dan buku-buku di pasaran. Kisah di atas sebenarnya patut diterima berdasarkan manhaj Ahl al-Hadis -metode kajian sanad- dan bukannya manhaj Ahl al-Tarikh –metode meriwayatkan semua cerita-. Oleh itu disarankan beberapa rujukan berikut sebagai sumber sahih dalam menilai peristiwa-peristiwa di atas:

1. Abu Bakar Ibn alArabi [543H]; dalam “alAwasim min al-Qawasim fi Tahqiq Mawaqif al-Shahabah ba’da Wafat al-Nabi” dengan tahqiq Muhib al-Din al-Khatib [1389H] -Dar al-Jail, Beirut -1994- dan telah diterjemahkan dengan lengkap oleh Abu Mazaya & Ali Mahfuz dengan judul “Benteng-Benteng Penahan Kehancuran: Satu Upaya dalam Membela Para Sahabat Nabi s.a.w” -Darul Iman, Sri Gombak 2002-.

2. Muhammad bin Yahya al-Andalusi [741H] dalam “al-Tamhid wa al-Bayan fi Maqatil al-Syahid Utsman bin Affan” dengan tahqiq Karam Hilmi Farhat Ahmad -Dar al-Arabiyyah, Kaherah 2002-.

3. Muhammad Amahzun dalam “Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Tabari wa al-Muhadditsin” -Dar al-Thayyibah, Riyadh 1999- dan telah diterjemahkan secara ringkas oleh Rosihan Anwar dengan judul “ Meluruskan Sejarah Islam, Studi Kritis Peristiwa Tahkim” -Pustaka Setia, Bandung 1999-.

4. Muhammad Asri Zainul Abidin dalam “Pertelingkahan Para Sahabat Nabi (s.a.w): Antara Ketulenan Fakta dan Pembohongan Sejarah, Edisi Kedua” -Pustaka Yamien, Gombak 2003-.

5. Ibrahim Ali Sya’wat dalam “Kesalahan-Kesalahan Terhadap Fakta-Fakta Sejarah yang Perlu Diperbetulkan Semula” -edisi terjemahan oleh Basri bin Ibrahim; Jahabersa, Johor Bahru 2003-)

Setelah peristiwa perang Siffin dan perang Jamal, fitna berlanjut pada terbunuhnya Husain bin Ali radiallahu anhum di tangan pasukan Yazid bin Muawiyyah di Karbala. Berpuas hati dengan semua yang terjadi, mereka kemudian mengangkat Ali bin Husain sebagai khalifah. Pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa mesti Ali bin Husain? Mengapa bukan yang lain? Mengapa bukan keturunan Hasan? Oleh para penganut syiah, biasanya menjawab bahwa nama Ali bin Husain-lah yang disebut dalam nash hadits. Padahal, jika kita meneliti hadits-hadits mereka, tidak ada satu sanadpun yang sampai pada Rasulullah saw. Jawaban yang paling masuk akal adalah karena Ali bin Husain berasal dari isteri Husain yang bernama Syahr Banu, seorang putri keturunan Raja Persia (Mamduh Farhan al-Buhairi al-Syiah Minhum Alaihim, hal. 124. Perkawinan ini diakui oleh sumber Syiah sendiri, antaranya rujuk buku 14 Manusia Suci oleh Dewan Ulama Organisasi Dakwah Islam, Teheran, edisi terjemahan oleh Yudi Nur Rahman; Pustaka Hidayah, Bandung 2000, hal. 117). Itulah sebabnya, keturunan dari isteri Husain dan Hasan yang lain tidak mereka masukkan ke dalam lingkaran ahlul bait yang ma’shum karena tidak memiliki darah Persia. Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, dan Husain mereka masukkan sekedar pembenaran untuk mereka (Untuk mengetahui silsilah keturunan Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain, lihat buku Ibnu Umar yang berjudul “Hukum Ulama Islam Terhadap Shiah: Dahulu dan Sekarang” -Virtue Publications, Kuala Lumpur 1987-, hal. 13)Ringkasnya, kita semua mengetahui bahawa banyak umat Islam sekarang yang memiliki silsilah ahlul bait yang berpangkal kepada Hasan dan Husain. Akan tetapi hanya satu dari silsilah ini yang diambil oleh Syiah untuk dinobatkan sebagai Imam, yaitu silsilah yang memiliki darah kesultanan Persia saja. Hal tersebut akan semakin jelas, jika kita mengetahui bahwa sifat-sifat yang dilekatkan syiah pada para imamnya, sama dengan sifat-sifat yang dilekatkan bangsa Persia pada rajanya. Seperti sifat suci (ma’shum) dan kekuasaan dalam menentukan syariat agama, termasuk konsep pewarisan kekuasaan (Silahkan rujuk: 1. Muhammad al-Bandadi “al-Tasyaiyubaina Mafhum al-Aimmah wa al-Mafhum al-Farisi” -Dar ‘Ammar, Amman 1988-. 2. Muhammad Amahzun “ Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitan, jld.2”, hal. 267. Edisi terjemahan, lihat hal. 81-82. 3. Muhammad Abu Zahrah “ Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah -Dar al-Fikir al-Arabi, Kaherah tp. thn.), hal. 35. Bahagian pertama buku ini telah diterjemahkan oleh Abd Rahman Dahlan & Ahmad Qarib dengan judul “Aliran Politik dan Akidah dalam Islam” -Logos, Jakarta 1996-, lihat hal. 38-39. 4. “Syiah Rafidhah Imamiyah Ja'fariyah Saba'iyah” http://www.syiah.net Powered by: Joomla! Generated: 9 November 2009, 06:084. 5. Ehsan Yarshater (editor) “ The Cambridge History of Iran” -Cambridge Univ. Press 1983-, jld 3: The Seleucid, Parthian and Sasanid Periods).

Sayangnya, berkat ilmu dan hidayah yang Allah karuniakan pada Ali bin Husain dan keturunannya, mereka semua menolak pengangkatan diri mereka sebagai imam. Mereka berkeyakinan, bahwa imam yang ma’shum dan imam sebagai penentu syariat agama bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Mereka sangat menghormati Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan sebagai tiga khalifah pertama yang memiliki keutamaan dan kemuliaan masing-masing. Namun orang-orang Syiah menolak keyakinan Ali bin Husain dan keturunannya ini, dan untuk melanggengkan aqidah mereka, mereka melakukan banyak kedustaan yang disandarkan pada Ali bin Husain dan keturunannya.

Ali bin Husain, berkata tentang orang-orang yang mengaku mengikutinya, “Sesungguhnya mereka menangisi kematian kami, padahal siapakah yang membunuhi kami, kalau bukan mereka?” (Al Mufid, dalam kitab Al-Irsyad, hal. 241).

Masalah kemudian muncul ketika keturunan Ali bin Husain terhenti pada Al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ja’far al-Askari, karena beliau tidak memiliki anak. Untuk mengatasi masalah ini, mereka kemudian menciptakan kebohongan lagi bahwa beliau memilik seorang anak yang sekarang bersembunyi dalam sebuah gua, dan kelak akan muncul sebagai Imam Mahdi di akhir zaman (mengkonpromikan dengan aqidah Ahlu Sunnah). Kebohongan inilah yang kemudian dikenal dengan konsep Imam yang Gaib (Ibrahim Amini “al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity” –Ansariyan Publication, Tehran 1997-). Sayang, tidak semua dari mereka bisa menerima teori ini sehingga setelah wafatnya Al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ja’far al-Askari mereka terpecah menjadi 14 hingga 20 golongan (Moojan Momen dalam bukunya “ An Introduction to Shi’i Islam” -Yale Univ. Press,1985-, hal. 59).

Jadi, sangat jelas bagi kita bahwa sejara munculnya syiah tidak bisa kita lepaskan dari peranan bangsa Persia yang sekarang kita kenal dengan nama Iran. Tidaklah terlalu mengherankan jika Iran sekarang menjadi pusat dakwah, kajian, dan penyebaran agama ini. Kebanyakan tokoh-tokoh syiah juga berasal dari negeri ini.

Kondisi Mutakhir.

Persia sekarang berkembang dengan nana Iran, di bawah pimpinan Ahmadinejad. Di media-media, Ahmadinejad aktif menyuarakan pembebasan Palestina. Bahkan ia membuat semua orang tercengang dengan ucapannya untuk mengahapus Israel dari Peta Dunia. Harus kita akui, inilah sifat yang tepat untuk seorang pemimpin Islam! Sikap Ahmadinejad ini, memberi angin syurga bagi para da’i Syiah. Mereka mengkampanyekan bahwa Iran dengan syiah-nya lah yang terus menerus memperjuangkan pembebasan Palestina dari cengkraman Israel dan Amerika Serikat. Mereka semakin sumringah melihat sikap Kerajaan Arab Saudi yang justru kooperatif dengan Amerika Serikat. Mereka lalu mengkampanyekan, bahwa Arab Saudi dengan Ahlu Sunnah-nya tidak berbuat apa-apa untuk memperjuangkan Palestina.

Namun sangat disayangkan, Ahmadinejad hanya berkoar-koar diberbagai forum dan media, namun kita tidak pernah mendengar ada kesatuan mujahid dari Iran atau satu milisi Syiah yang berjuang di tanah Palestina. Hizbullah dengan berbagai rudalnya yang katanya dapat meluluh lantakkan Israel juga hanya berdiam diri di Libanon, malahan diberbagai media tersiar kabar bahwa mereka justru sedang meneror penduduk-penduk yang ada di Pegunungan Libanon yang mayoritas Ahlu Sunnah. Berita lain yang tidak kalah mencengankan adalah munculnya pemberontakan di Yaman yang di motori oleh kelompok-kelompok Syiah. Inikah bentuk perlawanan kepada Israel dan Amerika Serikat?

Hal yang lucu, ketika membicarakan perjuangan Ahlu Sunnah para da’i Syiah selalu menunjuk Arab Saudi dengan Raja Suud, seakan-akan hanya Arab Saudi Negara yang berpenduduk mayoritas Ahlu Sunnah. Tapi mereka menutup mata dan telinga dari fakta yang menyatakan bahwa faksi-faksi mujahid yang berjuang di tanah Palestina, Afghanistan, Checnya, Moro, Pattani, dan medan-medan jihad lainnya mayoritas berasal dari Arab Saudi, Mesir, Yaman, Sudan, bahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Ahlu Sunnah. Mereka juga tidak melihat bagaimana Kuwait yang berpenduduk mayoritas Syiah, pemerintahnya juga bersifat kooperatif dengan Amerika Serikat.

Peristiwa perang Irak juga sangat menarik untuk kita cermati. Ketika Amerika Serikat dengan sekutunya menyerang Irak, yang melakukan perlawan adalah milisi-milisi Ahlu Sunnah, terus bagaimana dengan orang-orang Syiah yang katanya mayoritas di sana? Mereka justru menyambut kedatangan tentara sekutu bak pahlawan. Namun setelah Saddam Husein terguling, dan mereka menguasai pemerintahan, mereka baru melakukan penolakan terhadap keberadaan tentara sekutu di Irak. Pertanyaannya, dari dulu kemana saja sih bung? Saya hanya ingin mengatakan, bahwa kebenaran dari sebuah faham sangat tidak benar sekali, jika dilihat dari sebuah negara atau pemerintahan Negara tersebut. Tapi, mempelajari sejarah memberi pencerahan kepada kita, bahwa hal seperti itu sangatlah tidak mengherankan dilakukan oleh orang-orang Syiah, karena agama mereka, selain berasal dari jasa Ibnu Saba’ juga digerakkan oleh fanatisme kebangsaan (nasionalisme, yang merupakan berhala baru!).

5 komentar:

Unknown mengatakan...

gak menarik... segini aja pemahaman Islam yang anda tahu??? surga itu menjadi semakin sempit dengan dibenarkannya cara pandang anda.. Entah bagaimana anda mampu menyebut article ini sebagai sebuah kajian yang "layak baca" (bagus/menarik).. cara anda menarik kesimpulan saja sudah prematur seperti anak kecil yang mengatakan kalau Santa Clause itu benar adanya.. selamat menikmati masa kanak-kanak anda.. saya yakin anda tidak akan se-objektif itu untuk memasukan komentar saya ini. Karena anda hanya bermodalkan prasangka belaka..

Anwar Abbas... mengatakan...

Menarik tidaknya sebuah artikel atau tulisan tergantung siapa yang membacanya, atau dengan kata lain itu adalah sesuatu yang relativ. Tapi bagi saya yang jau8h lebih penting adalah benar tidaknya, ilmiah atau tidak ilmiah, sayang anda tidak meninggalkan alamat blog anda, supaya saya bisa membaca tulisan-tulisan anda yang "menarik"! Perlu anda ketahui, cerita Ramayana dan Mahabarata sangat menarik bagi banyak orang, tapi tidak memilik dasar ilmiah sama sekali!
Kedua, keyakinan anda sudah terbujti salah, buktinya saya berani memasukkan komentar anda yang SANGAT AMAT TIDAK BERMUTU ini! Mudah-mudahan anda bisa membedakan antara prasangka dengan orang yang membawa fakta...
Terakhir, saya minta maaf kalau tulisan-tulisan saya tidak sejalan dengan NAFSU anda!

Unknown mengatakan...

ini blog wahabi yg lumayan.....(ancuur?), meski demikian tuduhan2 terhadap syiah yg ada sudah berumur beberapa abad dan bantahan dari ulama syiah terhadap tuduhan2 tsb jg sudah berumur beberapa abad jd ini hanya mengulang-ulang saja.

untuk yg ingin mengenal syiah lebih dekat dgn semangat "pencarian sebenar" sila datang ke sumbernya....salah satunya adalah islamsyiah.wordpress.com

adalah tidak adil jika seorang nasrani menghendaki kebenaran agama islam tp bertanya kepada pasturnya.

dan untuk anda pemilik blog ini, jantanlah dengan tidak men-klaim sbg ahlussunnah, karena tulisan2 dan referensi anda serta cara bertutur tidak mungkin berbohong....bahwa anda adalah wahabi yg masih belajar.

semoga dimuat.

Anwar Abbas... mengatakan...

Ini kebiasaan orang yang sok tahu!!! Bukannya mengomentari tulisannya, justru mengomentari orang yang membuat tulisannya... Mana bantahan ulama Syiah kalau memang ada? Di islamsyiah.wordpress.com justru menampilkan berita2 aktual dan menyembunyikan aqidah syiah yang sebenarnya... Biasalah, itu kan TAQIYAH...:)
Kalau mau tahu aqidah syiah, saya justru lebih menyarankan membaca web-nya Yayasan Fatimah, tapi sayang sekarang gak bisa di akses... Mungkin kewalahn dan gak bisa menjawab pertanyaan2 yang masuk...:)
Oh ya, blog anda mana? Supaya saya bisa melihat bagaimana hancurnya,,,:)

Anonim mengatakan...

ternyata dugaan saya benar, filsafat mendukung syiah hingga menjadi kuat dikalangan intelek, tapi sejarawan sejati pasti tahu asal usul syiah sebenarnya, tapi memang sulit mengupas syiah dengan literatur mereka sendiri karena jalur sanadnya berbeda dengan sunnni, sehingga syiah dapat membuat faham mereka sendiri dengan aman, ibaratnya syiah menggunakan port yang berbeda dan firewallnya kuat, susah ditembus