Rabu, 30 Desember 2009

Fakta Ghoidir Khum…

Mungkin kita pernah mendengar hadits Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang berbunyi, “Barang siapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Hadits ini diucapkan Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam di sebuah tempat bernama Ghoidir Khum, sehingga hadits ini juga dikenal dengan nama Hadits Ghoidir Khum. Bagi agama Syiah Rafidah, hadits ini dianggap sebagai hadits Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang mengangkat Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhum sebagai khalifah pengganti setelah Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam Benarkah demikian? Mari membahasnya lebih lanjut…

Hadit Ghoidir Khum mempunyai banyak jalur periwayatan dari kalangan sahabat, antara lain: Zaid bin Arqam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Buraidah bin Al-Hashib, Ali bin Abi Thalib, Abu Ayyub Al-Anshari, Albarra’ bin ‘Aazhib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Said Al-Khudri, dan Abu Hurairah ridwanullahi ‘alaihim jami’a. Dan para ulama hadits bersepakat untuk mengatakan bahwa hadit ini shahih. Disebagian kitab (terutama kitab-kitab Syiah Rafidah) hadits ini ditulis dengan tambahan, “Sesungguhnya ia adalah khalifahku setelah sepeninggalku nanti.” Setelah meneliti tambahan itu, ulama hadits bersepakat bahwa tambahan itu tidak shahih, dan tidak memiliki jalur periwayatan yang shahih pula.

Sudah menjadi kesepakatan dalam ilmu hadits, bahwa dalam menafsirkan sebuah hadits, hal yang tidak boleh luput dari perhatian adalah SEBAB/LATAR BELAKANG KELUARNYA HADITS TERSEBUT. Sekarang apa sebab/latar belakang keluarnya hadits Ghoidir Khum? Dalam berbagai kitab hadits, diceritakan peristiwa yang melatar belakangi keluarnya hadits ini…

Pada tahun 10 H, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam beserta para sahabat berangkat dari Madinah ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji, yang kemudian dikenal dengan nama Haji Wada’. Namun, seperti diketahui bahwa sebelumnya ada sekelompok sahabat yang Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam utus ke Yaman untuk kepentingan dakwah. Maka kelompok sahabat ini juga bergerak menuju Mekkah untuk melaksanakan Haji bersama Rasulullah, dan kelompok sahabat ini dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhum dan sebagai wakilnya adalah sahabat Buraidah bin Al-Hashib radiallahu ‘anhum. Begitu rombongan sudah mendekati tempat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam berada, maka Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum meninggalkan rombongan tersebut untuk bertemu dan melaporkan keberadaan mereka kepada Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam. Sepeninggal Ali, Buraidah mebuat keputusan untuk membagi harta rampasan peran berupa pakaian kepada rombongan dengan maksud agar mereka kelihatan lebih rapi ketika memasuki kota Mekkah dan bertemu dengan Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam. Namun begitu Ali kembali, beliau kaget dan marah melihat kejadian tersebut, dengan serta merta beliau memerintahkan untuk melepaskan pakaian-pakaian tersebut dan mengembalikan pada tempatnya semula, karena beliau berpendapat bahwa hanya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang berhak membagi harta rampasan perang pada waktu itu. Tindakan Ali membuat rombongan kecewa, sehingga terjadi perselisihan pendapat antara mereka. Maka begitu rombongan sampai di tempat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, Buraidah segera menghadap ke Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam dan menceritakan peristiwa dan perselisihan pendapat tersebut. Mendengar laporan tersebut, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam agak berubah wajahnya karena beliau tahu bahwa tindakan Ali adalah benar. Maka Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepada Buraidah, “Bukankah saya lebih utama untuk diikuti dan dicintai oleh mukminin daripada diri mereka sendiri?”“Benar Ya Rasulullah.” Maka Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam melanjutkan sabdanya, “Barang siapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpinnya.” Namun jauh dari perkiraan Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, ternyata perselisihan itu bukan hanya antara Buraidah dan Ali, tapi semua rombongan dari Yaman, bahkan meluas pada orang-orang yang bukan merupakan rombongan dari Yaman tersebut. Bahkan sebagian dari mereka menjelek-jelekkan Ali dengan kata yang tidak baik, yang dapat menjatuhkan nama baik Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum. Maka untuk menenangkan suasana, setelah melaksanakan ibadah Haji, saat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam dan rombongan kaum Muslimin sampai di sebuah tempat yang bernama Ghoidir Khum, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam berkhotbah di depan mereka mengenai perkara perselisihan tersebut. Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam juga mengulang kata-katanya yang diucapkan kepada Buraidah, “Barang siapa menganngap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpinnya.” Maka setelah itu, suasana kembali kondusif… Buraidah menjawab,

Demikianlah latar belakang keluarnya Hadits Ghoidir Khum, dan dengan itu kita dapat mengetahui maksud hadits tersebut. Hadits tersebut memberikan pengertian kepada rombongan kaum Muslimin pada waktu itu, bahwa jika mereka masih menganggap Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai pemimpin mereka, maka mereka harus menerima Ali bin Abi Thali radiallahu 'anhum sebagai pemimpin dalam rombongan Yaman, karena Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri yang telah menunjuk Ali sebagai pemimpin Rombongan tersebut. Dan dengan ini pula, kita dapat mengetahui bahwa hadits ini bukanlah penunjukan Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum sebagai Khalifah pengganti Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, seperti klaim kelompok Syiah Rafidah…

Jika kita memaksakan diri bahwa hadits ini adalah penunjukan Ali sebagai Khalifah setelah Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, maka konsekwensi dari itu adalah kita telah menuduh Abu Bakar radiallahu 'anhum, Umar bin Khattab radiallahu 'anhum, Utsman bin Affan radiallahu 'anhum, bahkan Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum sendiri tidak menjalankan perintah Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam. Okelah, kita mungkin bisa mengatakan bahwa ketiga khalifah pertamalah yang bersalah karena mereka yang merebut kekhalifaan dari tangan Ali, tapi kita harus ingat bahwa Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum juga ikut membai’at ketiga khalifah tersebut. Sebagian orang mengatakan bahwa bai’at Ali kepada Abu Bakar hanyalah bentuk taqiyah (salah satu metode syiah rafidah untuk menyembunyikan keyakinannya) karena keterpaksaan (Walaupun sangat tidak masuk akal, kalu orang seberani Ali dikatakan takut dan bisa dipaksa, di lain waktu kita akan membahas masalah ini), tapi bagaimana dengan bai’at kepada Umar bin Khattab radiallahu 'anhum, bahkan dalam pengangkatan Utsman bin Affan radiallahu 'anhum sebagai khalifah, Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum adalah salah seorang peserta yang terlibat dalam muswarah penunjukan Utsman.

Fakta lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menunjuk seseorang sebagai khalifah adalah peristiwa menjelang syahidnya Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhum setelah dipukul dengan pedang oleh seseorang yang bernama Abdurrahman bin Muljam (Orang ini adalah pengikut Ibnu Saba’). Sebagaimana diceritakan dalam banyak kitab sejarah yang membahas masalah ini, beberapa orang datang menemui beliau dan meminta beliau untuk menunjuk Hasan bin Ali radiallahu 'anhum putranya sebagai penggantinya, sebagaimana Abu Bakar radiallahu 'anhum menunjuk Umar bin Khattab radiallahu 'anhum. Namun mendengar permintaan itu, Ali berkata, “Saya tidak akan memerintahkan atau melarang kalian. Tapi saya akan meninggalkan kalian, sebagaimana Rasulullah meninggalkan kalian.” Ya, seperti Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, Ali tidak menunjuk seseorang sebagai penggantinya! Wallahu a’lam…

0 komentar: