Minggu, 31 Juli 2011

Keutamaan Bulan Ramadhan

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Sebentar lagi kita akan menginjak bulan Ramadhan. Sudah saatnya kita mempersiapkan ilmu untuk menyongsong bulan tersebut. Insya Allah, kesempatan kali ini dan selanjutnya, muslim.or.id mulai menampilkan artikel-artikel seputar puasa Ramadhan. Semoga dengan persiapan ilmu ini, ibadah Ramadhan kita semakin lebih baik dari sebelumnya.

Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an

Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”[1]

Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”[2]

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.” [3]

Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan

Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).

Dan Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah[4]. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.[5]

Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”[6]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”.[7] An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.”[8] An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”[9]

Raihlah berbagai keutamaan di bulan tersebut, wahai Saudaraku!

Semoga Allah memudahkan kita untuk semakin meningkatkan amalan sholih di bulan Ramadhan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2/179.

[2] HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/188.

[4] Tafsir Ath Thobari, 21/6.

[5] Zaadul Masiir, 7/336-337.

[6] HR. Al Bazaar, dari Jabir bin ‘Abdillah. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/149) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh (terpercaya). Lihat Jaami’ul Ahadits, 9/224.

[7] HR. At Tirmidzi no. 3598. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[8] Al Majmu’, 6/375.

[9] Idem.


Selengkapnya...

Sabtu, 30 Juli 2011

CARA AHLUL BID’AH BERARGUMENTASI

Peringkas

Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf

Pendahuluan

Setiap (kelompok) yang menyimpang dari Sunnah namun mendakwahkan dirinya menerapkan Sunnah, mesti akan takalluf (memaksakan diri) mencari-cari dalil untuk membenarkan tindakannya (penyimpangan) mereka. Karena, kalau hal itu tidak mereka lakukan, (perbuatan mereka) mengesampingkan Sunnah itu sendiri telah membantah dakwaan mereka.

Setiap pelaku bid’ah dari kalangan umat Islam ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah -berbeda dengan firqah-firqah lain yang menyelisihinya- hanya saja mereka belum sampai kepada derajat memahami tentang Sunnah secara utuh. Hal itu mungkin karena tidak dalamnya pemahaman mereka tentang perkataan bahasa arab dan kurang paham maksud-maksud yang dikandung Sunnah. Atau, mungkin juga karena tidak dalamnya pemahaman mereka dalam hal pengetahuan kaidah-kaidah ushul sebagai landasan ditetapkannya hukum-hukum syari’at, atau mungkin pula karena dua hal tersebut sekaligus.

Tentang golongan kedua, yaitu tidak dalam pengetahuannya tentang kaidah-kaidah ushul , yang condong dan menyimpang dari kebenaran, kita mendapatkan dua sifat pada mereka berdasarkan ayat Al-Qur’an.

Sifat Pertama, yaitu sifat condong dan menyimpang, yaitu pada firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan (dari kebenaran).” [Ali Imran : 7]

Condong dalam ayat di atas maknanya adalah menyimpang dari jalan yang lurus; dan hal itu merupakan bentuk celaan terhadap mereka.

Sifat Kedua, tidak mendalamnya ilmu mereka (tentang kaidah-kaidah ushul). Menurutmu, bagaimana jadinya bila dia mengikuti (suatu dalil) hanya karena ingin mencari fitnah? Kita sering melihat orang-orang bodoh berhujjah untuk (membela) diri mereka dengan dalil-dalil yang batil; atau dalil-dalil yang shahih, (tapi hanya sepotong-sepotong); sebagian dalil dilirik dan dalil-dalil yang lain dibuang, baik dalam urusan pokok maupun cabang, baik yang mendukung pendapatnya ataupun yang bertentangan dengannya.

Banyak di antara mereka yang mengaku memiliki ilmu, ternyata mengambil cara ini sebagai jalannya. Dia pun mungkin saja memberikan fatwa sesuai dengan yang dikehendaki dalil dan mengamalkan apa yang telah difatwakannya itu dan tujuan (tertentu). Cara seperti ini bukan merupakan kebiasaan orang-orang yang mendalam ilmunya. Cara itu tidak lain merupakan kebiasaan orang-orang yang tergesa-gesa, yang menurut dakwaannya hal itu adalah menjadi solusi.

Dari ayat yang telah disebutkan di muka kita dapatkan bahwa sifat menyimpang dari kebenaran tidak akan terjadi pada seorang yang mendalam ilmunya. Walaupun tidak semuanya begitu, akan tetapi seseorang yang mendalam ilmunya tidak akan menyimpang dari kebenaran dengan sengaja.

Jalan Yang ditempuh Orang Yang Menyimpang

Sesungguhnya orang yang mendalam ilmunya memiliki jalan yang mereka tempuh dalam mengikuti kebenaran, dan orang-orang yang menyimpang mempunyai jalan lain yang berbeda.

Kita perlu mengetahui jalan-jalan yang ditempuh oleh mereka (orang-orang yang menyimpang) untuk kita jauhi. Mari kita perhatikan sebuah ayat yang menyebutkan bagaimana jalan mereka dan bagaimana jalan orang-orang yang mendalam ilmunya. Allah Ta’ala berfirman:

“ Artinya : Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah.

Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lainnya karena itu akan mencerai

Beraikan kalian dari jalan-Nya.” [Al-An’am: 153]

Ayat di atas menyebutkan bahwa jalan kebenaran hanyalah satu, sedangkan kebatilan memiliki jalan-jalan yang banyak; tidak hanya satu, dan tidak terbatas jumlahnya.

Kemudian mari kita perhatikan pula sebuah hadist yang menafsirkan ayat tersebut yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

“ Artinya : (Suatu Ketika) di hadapan kami Rasulullah menggambarkan satu garis,lalu berkata, ‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggambarkan garis-garis lain yang banyak di kanan dan kiri garis tadi, lalu berkata, ‘Ini adalah jalan-jalan lain (selain jalan Allah), yang pada setiap jalan tersebut ada syaitan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membacakan ayat ini.” [Hadist Shahih]

Dalam hadist di atas disebutkan adanya garis(maksudnya kelompok-kelompok sesat) yang banyak, beragam dan tidak terbatas jumlahnya. Secara naqli kita tidak boleh membatasi jumlahnya; begitu juga secara aqli ataupun istiqra’ (penelitian). Akan tetapi akan kita sebutkan beberapa patokan secara umum untuk dijadikan pedoman melihat kelompok-kelompok tersebut, yaitu:

[1]. Mereka Bersandar Kepada Hadist-Hadist Lemah

Hadist-hadist yang lemah sandnya besar kemungkinan tidak diucapkan pleh Nabi. Jadi tidak mungkin suatu hukum didasarkan kepada hadist-hadist seperti itu. Bagaimana bila hadist-hadist yang mereka jadikan hujjah telah dikenal dusta?

[2]. Mereka Menolak Hadist-Hadist (Shahih), Yang Tidak Sejalan Dengan Tujuan Dan Madzhab Mereka.

Mereka mengatakan bahwa (hadist-hadist) seperti itu menyelisihi akal, tidak mengacu kepada maksud suatu dalil, maka harus ditolak. Dengan berdalih seperti itu mereka mengingkari siksa kubur, ash-shirath (jembatan), mizan (timbangan amal), dan ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat nanti. Mereka juga menolak hadist tentang ‘lalat’ dan (perintah untuk) membunuhnya (yaitu dengan membenamkan ke dalam minuman yang dimasukinya. pent). Mereka tidak mempercayai bahwa pada salah satu sayap lalat terkandung penyakit sedangkan pada sayap satunya terkandung obat penawarnya, dimana Rasulullah lebih dahulu menyebutkan sisi sayap yang terkandung penyakit (Lihat Kitab Shahih Bukhari (Hadist no.3142) dan kitab lainnya. Pent). Dan masih banyak hadist-hadist shahih lainnya (yang mereka tolak) yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil (terpercaya). Bahkan, mereka mencela para periwayat hadist-hadist tersebut, dari kalangan sahabat maupun tabi’in sekalipun; dan juga mencela orang-orang yang telah disepakati keadilan dan keimanan mereka oleh para muhadditsin (ahli hadist). Semua itu mereka lakukan untuk membantah siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka. Mereka menolak fatwa-fatwa dari orang-orang yang menyelisihi mereka dan menjelek-jelekannya dihadapan khalayak manusia, untuk menjauhi umat Islam dari Sunnah dan orang-orang yang mengikutinya.

[3]. Mereka Menerka-Nerka Maksud Perkataan Yang Ada Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Yang Berbahasa Arab.

Mereka menerka-nerka maksud perkataan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, padahal mereka tidak memiliki ilmu bahasa Arab yang cukup untuk memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu. Akhirnya mereka membuat kebatilan terhadap syari’at dengan pemahaman dan cara mereka, menyelisihi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka lakukan hal itu tidak lain karena berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri dan berkeyakinan bahwa mereka termasuk golongan ahli ijtihad yang berhak menetapkan hukum, padahal realitanya mereka bukan termasuk golongan tersebut.

[4]. Mereka Menyeleweng Dari Prinsip-Prinsip Agama Yang Telah Jelas Dan Mengikuti Perkara-Perkara Yang Samar (Mutasyabihat) Yang Mungkin Diperselisihkan Oleh Akal Masing-Masing Orang

Para ulama telah menetapkan bahwa setiap dalil yang didalamnya mengandung kesamaran dan kesulitan, pada hakekatnya bukanlah dalil, sampai menjadi jelas maknanya dan terang apa yang dimaksud. Karena hakekat sebuah dalil adalah keadaan dzanya sendiri harus jelas dan bisa (secara jelas pula) menunjukkan kepada sesuatu yang lain. Jika tidak demikian berarti masih membutuhkan dalil lagi. Lalu jika dalil tersebut menunjukkan akan ketidak shahihannya (sebagai Sebuah Dalil) berarti tidak layak untuk dikatakan sebagai dalil.

Sumber kekeliruan mereka dalam hal ini tidak lain adalah kebodohan mereka tentang maksud-maksud syari’at dan tidak mau memadukan dalil-dalil syar’I satu dengan lainnya. Kerena menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, dalam mengambil dalil-dalil syar’i haruslah secara utuh dan memenuhi kaidah-kaidah syar’i, misalnya.

[a]. Suatu unsur merupakan juz’iyyat (bagian) dari suatu kulliyat (kumpulan besar);

[b]. Sesuatu yang ‘am (umum) biasanya diikuti dengan sesuatu yang khas (khusus);

[c]. Sesuatu yang muthlaq (mutlak) biasanya diikuti dengan muqayyid (yang membatasi);

[d]. Sesuatu yang mujmal (global) biasanya diikuti dengan bayan (penjelas);

[e]. Dan lain-lain yang serupa dengan itu.

[5]. Menyimpangkan Dalil-Dalil Dari Arti Yang Sebenarnya

Bila ada dalil yang membahas perkara tertentu, (mereka) palingkan dari perkara tersebut kepada perkara lain dengan anggapan bahwa dua perkara itu sama. Inilah di antara bentuk penyimpangan tersembunyi yang mereka lakukan terhadap dalil-dalil dari makna yang sebenarnya. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan demikian.

Besar kemungkinan, orang yang mengakui Islam dan mengetahui tercelanya tindakan menyimpangkan kata-kata dari makna sebenarnya itu, tidak akan melakukan penyimpangan semacam itu. Akan tetapi mereka mungkin melakukan hal itu tatkala ada kesamaran yang melintas pada dirinya, atau karena kebodohan yang menghalangi dirinya untuk mengetahui kebenaran, bahkan adakalanya disertai hawa nafsu yang membutakan hatinya untuk mengambil dalil dari sumbernya. Nah, bila sebab-sebab tersebut terkumpul jadilah dia seorang pelaku bid’ah.

Penjelasannya sebagai berikut. Dalil syar’i yang mengandung suatu perintah global dalam urusan peribadatan, seperti: berdzikir, berdo’a, amalan-amalan sunnah yang dianjurkan, dan amalan-amalan lainnya yang pelaksanaannya tidak diatur tatacara pelaksanaannya oleh Allah Ta’ala, maka harus dilakukan oleh seorang mukallaf secara global juga. Jadi dalil tersebut harus dia pahami dari dua sisi: (yaitu) sisi maknanya dan bagaimana para Salafus salih mengamalkan dalil tersebut. Jiak seorang mukallaf mengerjakan perintah tersebut dengan tata cara tertentu, atau di waktu tertentu, dan dia konsisten melakukan itu sehingga dia menganggap bahwa tata cara, atau waktu, atau tempat tersebut adalah yang dimaksudkan oleh syari’at dengan tanpa dalil yang menunjukkan kepada hal itu, maka dalil yang global tersebut telah dia lepas dari makna seharusnya.

Untuk memperjelas kita berikan gambaran demikian. Kita tahu, bahwa syari’at menganjurkan kita berdzikir kepada Allah Ta’ala. Lalu ada suatu kaum yang (senantiasa melakukannya) dengan cara berjama’ah secara serempak dengan satu suara, atau pada waktu tertentu, dengan dikomandoi oleg seorang seperti yang biasa terjadi di masjid-masjid, padahal kita tahu syari’at tidak menganjurkan yang seperti itu, bahkan justeru sebaliknya. Maka, perbuatan seperti itu jelas menyelisihi kaidah. Karena, pertama, dia telah meyelisihi kemutlakan suatu dalil dengan memberi batasan-batasan tertentu sekehendak akalnya; dan kedua, dia menyelisihi orang-orang yang lebih paham tentang syari’at daripada dirinya, yaitu para Salafus shalih. Padahal Rasulullah sendiri pernah meninggalkan suatu amalan –padahal beliau senang melakukannya- karena khawatir hal itu akan diikuti oleh manusia yang kemudian diwajibkan kepada mereka. Bukankah kita mengetahui, bahwa yang senantiasa Rasulullah lakukan secara jama’ah, bila bukan shalat fardhu berarti shalat sunnah muakkad, menurut para ulama, seperti dua shalat Id, yaitu Idul Fitri dan Idul adh-ha, shalat Istisqa’ (minta hujan), shalat kusuf (gerhana matahari), atau semisalnya? Beliau tidak melakukannya secara berjama’ah untuk shalat malam dan perbuatan-perbuatan sunnah lainnya, karena shalat-shalat tersebut hanya mustahab (yang dianjurkan) saja hukumnya. Rasulullah sendiri menganjurkan kita melaksanakan shalat-shalat tersebut secara sendiri-sendiri. Hal itu tidak lain karena bisa menyusahkan bila shalat-shalat tersebut pelaksanaannya ditunjukkan dan dinampakkan (dengan berjama’ah).

Contoh kasus lain dalam hal ini adalah membiasakan berdo’a setelah sholat dengan cara bersama-sama dan mengeraskannya. Masalah ini akan dibahas secara khusus di bagian belakang Insya Allah Ta’ala.

[6]. Ada Diantara Mereka Yang Menetapkan Perkara-Perkara Syar’i Berdasarkan Takwil Yang Tidak Bisa Diterima Akal.

Mereka mendakwakan (hasil penetapannya itu) bahwa itulah yang dimaksud dan yang diinginkan oleh syari’at. Sementara mereka tidak (memahami dalil-dalil syar’I) seperti yang dipahami oleh orang Arab. Mereka berkata: “Setiap apa yang terdapat dalam syari’at, baik menyangkut hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia, masalah dikumpulkannya manusia dan membeberkannya amalan-amalan mereka (pada hari kiamat), serta perkara-perkara yang terkait dengan penyembahan (kepada Allah), maka itu adalah contoh-contoh urusan yang ghaib.”

[7]. Berlebihan Dalam Mengangungkan Guru-Guru Mereka

Mereka mendudukkan guru-guru mereka itu pada tempat yang tidak selayaknya. Kalau tidak karena berlebih-lebihan dalam beragama, berlebihan membela madzhab, dan berlebihan dalam mencintai pelaku bid’ah, tentu tidak akan ada pada pikiran seseorang untuk mengagungkan guru seperti itu. Akan tetapi Rasulullah telah bersabda.

"Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti jalannya orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta" [HR.Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669 dan yang lainnya dari hadist Abu Sa’id Al-Khudri]

Jadi, mereka itu berlebih-lebihan (terhadap guru-guru mereka) seperti halnya orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa bin Maryam, yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Ibnu Maryam". Maka, Allah berfirman:

"Artinya : Katakanlah (Wahai Muhammad), ”Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sejak dahulu telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad) ; dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus" [Al-Ma’idah : 77]

Rasulullah Bersabda:

“Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan (memuji)ku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan (memuji) ‘Isa Putera Maryam, tetapi katakanlah : (Aku ini) Hamba Allah dan Rasul-Nya". [HR. Bukhari no. 6830 dari Umar bin Al-Khathab]

Barangsiapa memperhatikan orang-orang (yang melakukan tindakan seperti di atas) niscaya akan menemukan banyak perbuatan bid’ah yang mereka lakukan dalam cabang-cabang syari’at. Karena, memang, yang namanya Bid’ah bila telah masuk ke dalam perkara pokok (ushul), maka akan mudah masuk kedalam cabang-cabangnya (furu’).

[8]. Berhujjah Dengan Mimpi-Mimpi

Hujjah yang paling lemah adalah hujjah suatu kaum yang menyandarkan kepada mimpi-mimpi untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan. Mereka biasanya berkata, “Kami bermimpi bertemu dengan si fulan, -biasanya seseorang yang shalih-, lalu dia berkata kepada kami, ‘Tinggalkan amalan itu, dan lakukan amalan ini!” Sebagian yang lain berkata, “Aku bermimpi (berjumpa) Rasulullah di waktu tidur, lalu beliau berkata begini dan memerintahkan begitu,”kemudian mengamalkan atau meninggalkan suatu amalan berdasarkan mimpinya itu, berpaling dari batasan-batasan yang telah dibuat oleh syari’at.”

Jelas itu suatu kesalahan. Karena, menurut syari’at, selain mimpi para nabi sama sekali tidak bisa diambil sebagai hukum. Mimpi-mimpi tersebut harus dikembalikan kepada hukum-hukum syari’at yang ada. Kalau cocok dengan hukum syari’at, maka mimpi tersebut boleh diamalkan, namun bila tidak cocok, maka wajib ditinggalkan dan dijauhi. Mimpi bisa kita jadikan sebagai kabar gembira atau peringatan saja ; tidak bisa dijadikan ketetapan hukum. Dan tidak bisa kita berkata, “Mimpi adalah satu bagian dari kenabian yang tidak boleh diabaikan. Bisa jadi yang mengabarkan dalam mimpi itu adalah Rasulullah, karena beliau bersabda:

"Artinya : Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar-benar telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6993, Muslim no. 2266 dari Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari no. 6994 dari Anas no. 6997 dan dari Abu Said Al-Khudri ; serta Muslim no. 2268 dari Jabir]

Jadi pengabaran beliau pada saat tidur (mimpi) sama seperti pengabaran beliau pada saat terjaga.

(Tidak bisa kita berkata seperti perkataan di atas), karena:

[1]. Jika mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian, maka mimpi tersebut bukan merupakan wahyu secara keseluruhan, melainkan hanya sebagiannya saja. Sedangkan satu bagian itu tidak bisa menduduki tempat secara keseluruhan dalam segala sisi, melainkan hanya mendudukinya pada beberapa sisi saja. Mimpi bisa dipakai sebagai bentuk kabar gembira (bisyarah) dan peringatan (nidzarah) saja, tidak menjangkau aspek hukum.

[2]. Mimpi merupakan bagian dari kenabian di antara syaratnya adalah harus merupakan mimpi yang benar dari seorang yang shalih. Padahal terpenuhinya syarat-syarat tersebut jelas membutuhkan penelitian, sehingga bisa jadi terpenuhinya dan bisa pula tidak.

[3]. Mimpi sendiri terbagi-bagi. Ada mimpi yang merupakan mimpi biasa yang datangnya dari syetan; ada yang merupakan khayalan; dan ada juga yang merupakan rekaman peristiwa yang terjadi sebelum tidur. Kapan kita bisa menentukan mimpi yang benar sehingga bisa diambil sebagai patokan hukum dan mana mimpi yang tidak benar untuk kita tinggalkan?

Mimpi yang menggambarkan Rasulullah mengabarkan tentang suatu hukum pun perlu dilihat. Bila (di dalam mimpi orang tersebut) beliau mengabarkan tentang suatu hukum yang sesuai dengan syari’at, maka (pada hakekatnya) hukum yang dipegang adalah hukum yang telah ada (dalam syari’at) tersebut. Dan jika beliau mengabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi (syari’at), maka itu mustahil. Karena setelah Rasulullah wafat, syari’at yang telah ditetapkan semasa hidupnya tidak akan manshukh (diganti dengan yang lainnya). Sebab agama Islam ini, meskipun Rasulullah telah wafat, ketetapan hukumnya tidak akan berubah dengan sebab mimpi seseorang. Karena hal itu suatu kebatilan menurut ijma’. Jadi barang siapa yang bermimpi (mendapati Rasulullah mengabarkan suatu hukum yang bertentangan dengan syari’at yang telah ada) itu, maka tidak boleh diamalkan. Dan pada saat tersebut kita katakana: Mimpi orang tersebut tidak benar. Karena kalau dia benar-benar (bermimpi) melihat Rasulullah, tentu beliau tidak akan mengabarkan sesuatu yang menyelisihi syari’at.

Sekarang, mari kita bicarakan makna sabda Rasulullah

“Artinya : Barangsiapa yang melihatku di waktu tidur, berarti ia telah melihatku.”

Dalam hal ini ada dua penafsiran, yaitu.

Pertama.

Makna hadist tersebut (adalah):

"Barangsiapa(bermimpi) melihatku sesuai bentuk di mana aku diciptakan maka ia telah melihatku; karena syetan tidak bisa menyerupaiku.”

Karena beliau tidak mengatakan, “Barang siapa yang berpendapat bahwa dia melihatku (dalam mimpi), maka dia telah melihatku”, tetapi mengatakan, “Barangsiapa melihatku (dalam mimpi) maka dia telah melihatku”. Darimana orang yang berpendapat bahwa dirinya melihat Rasulullah itu memastikan kalau yang dia lihat dalam mimpinya itu betul-betul wujud beliau? Jika dia tetap (bersikeras) telah melihat beliau, padahal dia tidak bisa memastikan kalau yang dilihatnya itu adalah betul-betul wujud beliau, maka ini adalah sesuatu yang sulit untuk dipercaya.

Kesimpulannya: Apa yang dilihat dalam mimpi seseorang bisa saja bukan Rasulullah, meskipun orang yang bermimpi meyakini bahwa itu adalah beliau.

Kedua.

Para ahli ta’bir mimpi berkata, “sesungguhnya syetan bisa mendatangi seseorang yang sedang tidur dalam bentuk tertentu, seperti dalam bentuk orang yang dikenal oleh yang bermimpi tersebut atau yang lainnya. Lalu (syetan) menunjukkannya kepada orang lain (sambil berkata): ‘Fulan ini adalah Nabi!’ Cara seperti itulah yang ditempuh syetan dalam menjalankan tipu dayanya terhadap orang yang bermimpi. Padahal, sosok Nabi mempunyai tanda-tanda tertentu. Kemudian, sosok yang ditunjukkan oleh syetan tersebut menyampaikan perintah atau larangan yang tidak sesuai dengan syari’at kepada orang (yang bermimpi). Orang yang bermimpi itu mengira kalau itu dari Rasulullah, padahal bukan, sehingga ucapan, perintah, atau larangan yang disampaikan dalam mimpi itu tidak boleh kita percaya.”

Jadi, jelaslah sudah permasalahan ini. Yaitu, bahwa suatu hukum tidak bisa diambil dari mimpi-mimpi sebelum dicocokkan terlebih dahulu dengan dalil, karena gambaran yang ada dalam mimpi kemungkinan tercampur dengan kebatilan.

Hanya orang-orang yang lemah hatinya sajalah yang berdalil dengan mimpi dalam masalah hukum-hukum (syar’i). Memang, bisa saja orang yang dilihat (dalam mimpi) itu datang dengan membawa pemberitahuan, kabar gembira, maupun peringatan secara khusus, akan tetapi para ahli ta’bir mimpi itu tidak menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan hukum dan membangun suatu kaidah. Memang sikap yang benar dalam menyikapi apa yang terlihat dalam mimpi adalah dengan selalu berpatokan dengan syari’at yang ada, wallahu a’lam.

Barangsiapa yang memperhatikan cara ahli bid’ah dalam berdalil, niscaya dia akan mengetahui bahwa mereka itu tidak memiliki alasan yang mapan. Karena alasan-alasan mereka itu terus saja mengalir berubah-ubah, tidak akan pernah berhenti pada satu alas an tertentu. Dan berdasarkan alasan-alasan itulah, orang-orang yang menyimpang dan orang-orang kafir mendasarkan penyimpanmgan dan kekufurannya, serta menisbatkan ajarannya itu kepada syari’at.

Barangsiapa yang tidak ingin terperosok ke dalam tindakan semacam itu, hendaknya mencari kejelasan jalan mana yang lurus baginya. Karena siapa yang berani meremehkan (hal ini), niscaya tangan-tangan hawa nafsu akan melemparkan kedalam berbagai kebinasaan yang tiada seorang pun dapat membebaskannya, kecuali bila Allah menghendaki lain.

[Disalin dari “Kutaib Muhtashar Al-I’tisham, Peringkas Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Penulis Abu Ishaq Ibrahim bin Musa ASy-Syathibi, Edisi Indonesia Ringkasan Al-I'tishom Imam Asy-Syathibi, Penerjemah Arif Syarifuddin, Penerbit Media Hidayah]


Selengkapnya...

Minggu, 24 Juli 2011

Riwayat-Riwayat Yang Menceritakan Kejelekan Sahabat

Oleh: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Adanya riwayat-riwayat serta atsar-atsar yang menceritakan kejelekan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan peluang besar bagi musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar, untuk berebut menghancurkan pilar-pilar Islam. Para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah sanad pertama bagi sampainya Islam kepada seluruh kaum Muslimin di dunia. Jika sanad ini runtuh, maka runtuhlah kepastian kebenaran Islam. Pada gilirannya, kaum Muslimin pun tidak akan memiliki persepsi yang satu tentang Islam. Mereka akan berselisih pemahaman, dan akhirnya akan terpecah belah. Maka terpuruklah mereka.

“Perbedaan persepsi, perselisihan paham dan perbedaan madzhab akan mengakibatkan perpecahan fisik”. [1] Apalagi jika masalahnya menyangkut masalah prinsip ajaran Islam.

Sebelum menjawab secara garis besar tentang riwayat-riwayat ini, perlu diingatkan kembali, bahwa kewajiban setiap orang beriman ialah memuji, mendoakan, memohonkan ampun, menyanjung, serta tidak mencela sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Itulah sikap Ahlu Sunnah wal-Jama’ah terhadap para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dalil-dalil tentang itu sangat banyak dan sudah banyak ditulis.

Intinya, Ahlu Sunnah wal-Jama’ah selalu selamat lidah dan hati mereka dari cercaan, celaan, kebencian dan kedengkian tehadap para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Allah memberikan sifat kepada Ahlu Sunnah sebagai orang-orang yang selamat hati dan lidah mereka terhadap para sahabat ini dengan firman-Nya:[2]

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (sesudah Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudarasaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.” [ al-Hasyr/59:10]

Berkenaan dengan ayat ini, Imam Syaukâni rahimahullah menjelaskan:
Barang siapa yang tidak memohonkan ampun kepada Allah untuk para sahabat secara keseluruhan, serta tidak memohonkan ridha Allah untuk mereka, berarti ia telah menyalahi perintah Allah dalam ayat ini. Jika seseorang mendapati suatu kebencian dalam hatinya terhadap sahabat, berarti ia telah tertimpa godaan setan dan telah dikuasai kemaksiatan yang besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia telah melakukan permusuhan kepada wali-wali Allah, generasi terbaik umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah terbuka baginya pintu kehinaan yang akan mengantarkannya masuk ke dalam neraka Jahanam, jika ia tidak segera memperbaiki dirinya dengan berlindung dan meminta pertolongan kepada Allah, supaya Allah mencabut kedengkian yang mewarnai hatinya kepada generasi terbaik dan paling utama itu.

Jika kemudian, kedengkian yang ada dalam hatinya itu meluap hingga melahirkan cacian pada mulut terhadap salah seorang di antara mereka, berarti ia telah takluk pada kendali setan dan telah terjerumus ke dalam kemurkaan Allah. Penyakit akut ini hanya menimpa orang-orang yang termakan oleh ajaran Râfidhah (Syi’ah) atau terperangkap menjadi kawan bagi musuh-musuh Sahabat. Dia dipermainkan dan ditipu oleh setan dengan kedustaan-kedustaan, cerita-cerita bohong, serta kisah-kisah khurafat (tentang Sahabat). Setan telah memalingkan mereka dari Kitab Allah, kitab yang tidak bisa disentuh oleh kebatilan, baik dari arah depan maupun dari arah belakang.[3]

Berikut ini ialah penjelasan mengenai riwayatriwayat yang menceritakan kejelekan dan kesalahan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dan dalam menghadapi riwayat riwayat yang menceritakan kejelekan dan kesalahan para sahabat, maka ada banyak hal yang harus diperhatikan:

1. Banyak di antara riwayat itu yang dusta dan palsu, seperti pemalsuan-pemalsuan riwayat yang dilakukan oleh kaum Râfidhah. Riwayat-riwayat dusta dan palsu, tentu tidak perlu lagi diperhatikan.

2. Riwayat-riwayat itu sudah banyak ditambah, dikurangi atau dirubah dari yang semestinya. Sementara itu, keutamaan para sahabat serta keadilan mereka merupakan perkara yang pasti dan meyakinkan, sehingga perkara pasti dan meyakinkan ini, tidak bisa ditinggalkan hanya karena mengikuti riwayat yang kebenarannya sudah tercampur aduk dengan kebatilan.

3. Riwayat-riwayat yang shahîh tentang kesalahan para sahabat, maka dalam hal ini, mereka ma’dzûr (termaafkan). Sebab mereka melakukannya karena ijtihad -dan mereka adalah para mujtahid yang lebih berhak untuk berijtihad dibanding para mujtahid sesudahnya. Sedangkan ijtihad dari ahli ijtihad, apabila benar, maka mendapat dua pahala. Dan apabila salah, maka mendapat satu pahala, sedangkan kesalahannya dalam berijtihad dimaafkan oleh Allah.

Dalam Shahîh Bukhâri dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَ حَكَمَ الْحَا كِمُ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أصَابَ فَلَهُ أ جْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أ جْرٌ

Apabila seorang hakim memutuskan hukum, ia berijtihad (dalam hukum itu) lalu benar ijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan hukum, ia berijtihad (dalam hukum itu), kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala. [4]

4. Para sahabat ialah manusia biasa, yang secara individual kadang melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya. Secara individual, mereka tidak ma’shum dari dosa kecil maupun besar. Tetapi jika seseorang di antara mereka melakukan dosa atau kesalahan, maka ia memiliki berbagai macam penghapus dosa. Di antaranya berikut ini:

• Mereka memiliki hasanât (amal-amal kebaikan yang banyak) yang sudah terlebih dahulu dilakukan sebelum terpeleset dalam kesalahan. Juga memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Dimana hasanât dan keutamaan-keutamaan ini akan menghapuskan dosa-dosa yang mungkin dilakukannya. Misalnya kisah Hâthib bin Abi Balta’ah. Imam Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahîh masing-masing, bahwa Hâthib bin Abi Balta’ah hendak memberitahukan kepada orang-orang musyrik Quraisy tentang rencana penyerangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekah pasca perdamaian Hudaibiyah, dengan maksud supaya orang-orang musyrikin melindungi keluarganya yang masih tinggal di Mekkah. Tetapi hal itu diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar wahyu, dan wanita musyrik yang menjadi suruhan Hâthib berhasil ditangkap.

Ketika ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu menawarkan diri untuk menghabisi Hâthib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدرًا وَمَا يُدْ رِيكَ لَعَلَّ اللَّه اطَّلعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْ تُ لَكُمْ

Sesungguhnya Hâthib telah turut serta dalam perang Badar. Tahukah engkau bahwa Allah telah menganugerahkan kedudukan kepada Ahli Badar? Sehingga Allah berfirman kepada mereka (artinya): “Lakukan apa saja yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian”? [5]

Kisah ini menunjukkan, betapapun besar kesalahan Hâthib Radhiyallahu ‘anhu, namun ia memiliki hasanât yang dapat menghapuskan kesalahan itu. Di antaranya ialah hasanât mengikut perang Badar. Membocorkan rahasia perang merupakan suatu kejahatan besar. Namun Hâthib tetap diampuni dosa-dosanya oleh Allah, karena beliau merupakan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan besar dan memiliki penghapus-penghapus dosa. Maka, tidak ada seorang pun sesudah beliau yang berhak mencercanya. Radhiyallâhu ‘anhu wa ‘an Jamî’I ash-Shahâbah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surat Hûd/11 ayat 114:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.

Jika hasanât yang dilakukan oleh selain sahabat saja dapat menghapuskan dosa-dosa yang ia lakukan, apalagi jika hasanât itu dilakukan oleh para sahabat.

• Sesungguhnya pelipatgandaan nilai hasanât yang mereka miliki akan lebih banyak daripada orang lain sesudah mereka, sebab mereka adalah generasi terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُو نَهُمْ ثُمَّ الَّذيْنَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orangorang yang sesudahnya lagi.[6]

• Banyak sekali penghapus dosa yang dimiliki sahabat, merupakan sesuatu yang tidak dimiliki oleh generasi sesudahnya. Misalnya: taubat, amal amal kebaikan yang banyak, syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau musibah duniawi yang dapat menghapus dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يَهُمُّهُ إِلاَّ كُفَّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَا تِهِ

Tidaklah menimpa kepada seorang mukmin, baik sakit berkepanjangan, kepayahan hidup, tidak sehat, kesedihan, bahkan kegundahan yang mengganggunya, kecuali dengan sebab itu, kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan.[7]

Jika selain Sahabat dapat terhapuskan dosanya disebabkan musibah yang menimpanya, maka terlebih lagi para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum

5. Apabila dosa serta kesalahan sahabat yang jelas jelas saja diampuni dosanya, maka apalagi kesalahan-kesalahan yang masih dugaan yang diakibatkan karena ijtihad.

Jadi kesimpulannya, kesalahan yang dialami sahabat, disamping begitu sedikitnya kesalahan itu, hanya terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama, karena ijtihad yang salah. Dalam hal ini, mereka tetap mendapat pahala, sedangkan kesalahannya mendapat ampunan. Kedua, kesalahan yang bukan karena ijtihad. Dan ini lenyap dengan banyaknya hasanât serta keutamaan luar biasa yang dimiliki Sahabat.

Di antara keutamaan besar Sahabat, secara garis besar sebagai berikut :
• Iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini merupakan amal paling utama.
• Jihad fi sabilillah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi kalimat Allah, dan ini merupakan dzirwah sanami al-Islam (puncak Islam tertinggi).
• Hijrah fi Sabilillah. Ini termasuk amal yang paling utama.
• Membela Dinullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang mereka:

وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. [al-Hasyr/59:8].

• Ilmu nafi’ (bermanfaat) yang dimiliki oleh para Sahabat dan amal shalih mereka.
• Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umat terbaik sesudah para nabi Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

• Mereka adalah generasi umat Islam terbaik.

Demikianlah, semoga makalah ini dapat menjadi sumbangsih bagi upaya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Islam, upaya menjaga keutuhan ajaran Islam, dan upaya memahamkan kepada umat tentang kedudukan tinggi para sahabat, sehingga umat tidak mudah dipengaruhi oleh kedustaan para musuh sahabat yang dihembuskan secara lembut.

Nas’alullâha at-Taufiq wa as-Sadad.

Marâji’:
1. Al-I’tishâm, Imam asy-Syâthibi. Tahqîq: Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilâli, Dâr Ibnu al-Qayyim dan Dâr Ibnu ‘Affan, Cetakan II, 1427 H/2006 M.
2. Fathu al-Bâri Syarh Shahih al-Bukhâri, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
3. Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, 1417 H/1996M.
4. Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithhiyyah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah
al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan VI, 1413 H/1993 M.
5. Tafsir Fathu al-Qadîr, Imam asy-Syaukâni (wafat 1250 H), Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tauzî’ Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-I’tishâm.
[2]. Sebagaimana dikemukakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihat Syarh al-Aqîdah al-Wâsithhiyah, karya Syaikh Shâlih bin
Fauzân al-Fauzân, hlm. 184.
[3]. Lihat Tafsir Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukâni (wafat 1250 H), Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tauzî’ Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, tanpa tahun V/202, tentang Qs. al-Hasyr/59 ayat 10.
[4]. HR Bukhâri, Kitab al-I’tishâm bi al-Kitâb wa as-Sunnah, no. 7352 dan Muslim, Kitâb al-Aqdhiyah, Bab: Bayân Ajri al-Hâkim idza Ijtahada, no. 4462. II/239-240 – Syarh Nawâwi, Tahqîq: Khalîl Ma’mun Syiha.
[5]. Lihat Fathu al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, VII/519, hadits no. 4274, Kitab al-Maghâzî dan Muslim Syarh Nawawi, XVI/272-273, hadits no. 6351, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.
[6]. HR Bukhâri dan Muslim, dari hadits Ibnu Mas’ûd. Lihat Fathu al-Bâriy, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, V/259, hadits no. 2652, dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, XVI/302-303, hadits no. 6419, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha.
[7]. HR Bukhâri, Kitab al-Mardhâ, no.5641 dan 5642. Muslim, Kitab al-Adab: al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. 6513, XVI/326 – Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.

Selengkapnya...

Senin, 04 Juli 2011

ANTARA IJTIHAD DAN TAKLID

Oleh
Ustadz Azhar Robani


Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam mujtahid.

Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.

Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam.

Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain? Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy Syarif. Semoga bermafaat.

IJTIHAD
Pengertian Ijtihad, menurut makna leksikal berarti mencurahkan semua kemampuan untuk menghasilkan perkara yang besar. Adapun menurut istilah, ijtihad ialah, mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Adapun seorang yang mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui hukum syar’i, disebut mujtahid.

Dengan demikian, seorang yang mengambil sebuah kitab, melihat kandungannya, dan menghukumi dengan hukum yang sesuai dengan kitab tersebut, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai mujtahid, karena dia hanya mengikuti penulis kitab. Adapun orang yang meruju‘ kepada kitab-kitab dan mengkajinya bersama ulama untuk merumuskan hukum dalam suatu masalah sehingga berhasil menyimpulkan suatu hukum tertentu, maka orang ini dinamakan mujtahid, karena telah mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahuinya.

Syarat-Syarat Berijtihad
1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.
Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus diketahui karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.

2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, bisa jadi, dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak hadits yang shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki ilmu hadits dan rijalnya.

3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara - Perkara Yang Sudah Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan hukumnya telah dihapus.

Demikian juga masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama, seorang mujtahid, harus mengetahuinya agar tidak menghukumi dengan sesuatu yang menyalahi ijma’. Oleh karena itu, sebagian ulama muhaqqiq, apabila mereka menyatakan suatu pendapat dan belum mengetahui keberadaan pendapat yang menyelisihinya, mereka menggantungkan penetapan hukumnya dengan “bila tidak ada ijma”. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang masuk kategori ulama yang paling luas penguasaannya tentang khilaf, kadang-kadang dia mengatakan “pendapat ini benar, jika ada ulama yang mengatakannya”. Artinya, jika tidak ada orang yang mengatakannya, maka perkataan tersebut tertolak karena menyelisihi ijma’.

4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam dalil-dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbedabeda, misalnya seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan lain-lain. Sebab, kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi dengan keumuman kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.

Sebagai contoh, seseorang membaca hadits “Di dalam panenan yang diairi dengan air hujan zakatnya sepersepuluh”.[Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1412]

Di dalam hadits ini terdapat dua keumuman. Yaitu keumuman dalam ukurannya, dan keumuman dalam jenisnya. Ukurannya, mencakup ukuran sedikit dan banyak. Dan jenisnya, mencakup setiap jenis yang diairi oleh air hujan. Lalu dia memegangi hadits ini dan berkata “Zakat wajib dikeluarkan dari hasil panenan yang keluar dari bumi dari jenis apa saja, dan dengan ukuran berapa saja”. Ini adalah keliru, karena dia harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berupa takhshish yang terdapat dalam dalil lain. Yang benar, dua keumuman tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi “Tidak ada (kewajiban) shadaqah (zakat) dalam panenan yang kurang dari lima wasaq”. (Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1541 dan Muslim no. 1541) Dengan demikian, maka tidak wajib zakat kecuali jika hasil panenan bisa diukur dengan wasaq (nama takaran) dari jenis makanan, dan ukurannya sudah mencapai lima wasaq.

5. Mengetahui Dalalah Lafazh-Lafazh (Karakter Petunjuk Kata) Dalam Bahasa Arab Dan Ushul Fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui dalalah lafazh-lafazh, seperti ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan dan lain-lainnya. Dengan demikian, dia bisa menghukumi sesuai dengan dalalah-dalalah tersebut. Seseorang, apabila tidak mengetahui apa yang dinamakan ‘amm – misalnya- maka ia tidak tahu bahwa lafazh ini berarti umum atau khusus, sehingga tidak mungkin bisa beristimbat hukum secara benar. Karena bisa jadi, lafazh yang tidak umum dianggap umum, dan dia tidak mengetahuinya. Seperti itu juga pada dalalah lafazhlafazh lainnya.

6. Memiliki Kemampuan Untuk Beristimbat Hukum Melalui Dalil-Dalilnya.
Pada hakikatnya, syarat ini adalah sebagai output (buah) dari syarat-syarat sebelumnya. Terkadang seseorang memiliki syarat-syarat di atas, tetapi tidak bisa beristimbat dan justru bertaklid kepada orang lain. Dia berpendapat dengan pendapat yang dikatakan oleh orang lain. Maka seorang mujtahid, harus memiliki kemampuan untuk beristimbat (menarik kesimpulan) hukum dari dalil-dalilnya.

BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU MASALAH SAJA?
Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah tertentu dari masalahmasalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid pada selain bab atau masalah tersebut.

Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua sepatu, lalu dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai bisa menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah. Maka orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan dalam bab lainnya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?
Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah mencurahkan semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan perkataanperkatan ulama, lalu kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib baginya untuk menghukumi dengan hukum maka dia mendapatkan satu pahala. [Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716]

Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala bersusah payah.

Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran. Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang berarti menampakkan kebenaran.

Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Allah berfirman, artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘ : 7].

TAKLID
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid. Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah, maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang lain dengan dasar hujjah, maka bukan muqallid.

Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al Kitab dan Sunnah.

Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi, orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.

Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya : Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, taklid yang tercela sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.

Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian pertama, menamakan taklid pada macam yang kedua. Padahal sebaiknya, jenis taklid ini diberi nama tersendiri yang membedakannya dengan taklid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam penggunaan istilah.

Ada juga ulama yang tetap mencela taklid secara umum, dan memberikan nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.

Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam menjelaskan hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa wajib bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu bertaklid kepadanya. Taklid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti kamu berittiba’ kepadanya. Ittiba` di dalam agama itu benar, dan taklid dilarang.

Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti yang mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara ijtihad dan taklid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang ‘alim (berilmu) tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari semata-mata pendapatnya dan ijtihadnya”.

Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil kepada orang ‘alim dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang awam, (yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusanurusan agamanya”.

KAPAN SESEORANG BERTAKLID?
Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua keadaan.

Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri. Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah berfirman, artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘:7]

Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.

Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim mengatakan “perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada seorang alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya, tetapi hendaknya bertaklid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran karena keilmuan dan kewara`annya.

Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia juga tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.

Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau bertaklid kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin, perkataan Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama lain. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaklid kepada yang lain, karena pendapat yang rajih ialah, apabila ada dua orang ‘alim, salah satunya lebih utama dari pada yang lain, maka tidak mesti wajib bertaklid kepada yang lebih utama, tapi boleh juga bertaklid kepada yang tingkatannya di bawahnya.

MACAM-MACAM TAKLID
1. Taklid Umum.
Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimahazimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh, seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah, masalah-masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah selain itu.

Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”. Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taklid umum. Yaitu seseorang bertaklid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada perkataan Nabi.

Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah [Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]

Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang teguh secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya pada pendapat yang mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya terdapat hal yang sama”.

2. Taklid Khusus.
Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh Utsaimin menjelaskan perihal taklid khusus ini dengan mencontohkan tentang dirinya. Beliau bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang dalilnya tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan waktunya sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah ini secara khusus.

Taklid khusus ini diperbolehkan, apabila seseorang tidak mampu mengetahui kebenaran dengan berijtihad, baik karena benar-benar tidak mampu, atau mampu tetapi sangat berat melakukannya.

PENUTUP
Dari pemaparan uraian ini, kita bisa mengetahui, bahwa itjihad merupakan perkara yang memiliki konsekwensi. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, karena untuk bisa berijtihad, seseorang harus memiliki dan menguasi seperangkat ilmu pendukungnya. Begitu pula bagi seorang alim yang memiliki kemampuan, namun manakala telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka ia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Terlebih lagi dengan diri kita sebagai orang awam, atau orang yang baru mempelajari masalah din, tentu tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.

Dalam masalah taklid, terbagi menjadi dua macam, yang terpuji dan tercela. Taklid yang terpuji ialah, mengambil perkataan orang lain dengan hujjah. Taklid terpuji juga mempunyai nama lain, yaitu: ittiba’, su‘alul ‘alim (bertanya kepada ulama), dan ijtihad orang awam. Adapun taklid yang tercela ialah, mengambil perkataan orang lain tanpa hujjah. Tentu di dalam berijtihad ataupun bertaklid, seseorang harus menimbangnya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi n dan Ijma’.

Maraji‘ :
- Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit Al Mktabah At Taufiqiyah, Al Qahirah – Mesir.
- Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzhabiyyah , Muhammad Syakir Asy Syarif, cet. I th 1408 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Selengkapnya...

SEPAK TERJANG SYI'AH DI INDONESIA

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


Perjalanan kaum Syi'ah di negeri ini semakin jelas khususnya dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau (tepatnya disebut) dîn (agama) Syi'ah untuk menguasai Iran sebagai agama penguasa setelah pemerintahan Reza Fahlevi runtuh.Setelah terjadi revolusi di Iran di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka ke seluruh negeri Islam dengan mengatasnamakan dakwah Islam. Terutama ke negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin. Ada tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu:

Pertama : Kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.

Kedua : Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafus Shâlih. Mereka hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful ummah (generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh (benar).

Ketiga : Kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah kecuali sekedar perbedaan furu’iyyah.

Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan daulah islamiyah.1 Padahal pada hakekatnya untuk menegakan daulah râfidhah. Mereka hendak meyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini dan ditegakan oleh mereka. Khomaini, pemimpin mereka telah menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga kitab itu adalah ; pertama, kitab Hukumâtul Islamiyah; kedua, kitab Tahrîrul Wasîlah; ketiga, kitab Jihâdun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar. Dalam tiga kitab ini, khususnya dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara tegas tanpa taqiyyah menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama mereka. Diantaranya dua point yang sangat mendasar yaitu :

- Tidak ada hukum kecuali hukum Syi'ah. Jadi yang dimaksudkan dengan Hukumatul Islamiyah adalah hukum Rafidhah
- Tidak ada negeri Islam kecuali yang di tegakan oleh mereka.

Karena itu mereka menyeru agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Berbagai upaya dilakukan, misalnya mengirimkan dai-dai ke seluruh negeri-negeri Islam atau dengan istilah pertukaran pelajar, atau cendikiawan, mempertemukan tokoh-tokoh mereka dengan tokoh-tokoh kaum Muslimin untuk mempersatukan Islam. Sebuah tanda tanya besar ! Padahal yang diinginkan adalah agar kaum Musliminmengikuti mereka.

Dalam kitab Hukumâtul Islamiyah juga, Khomaini dengan tegas mengatakan bahwa derajat imam-imam mereka lebih tinggi dari derajat para nabi dan rasul bahkan para malaikat. Dalam kitab itu juga, Khomaini tidak mengenal Daulah Islamiyah kecuali yang ditegakkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, adapun tiga khalifah sebelum Ali Radhiyallahu 'anhu yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak dianggap sebagai kaum muslimin. Bahkan dalam kitab Jihâdul Akbar, Khomaini dengan tegas melaknat sahabat agung, penulis wahyu, ipar Rasulullah dan pamannya kaum Muslimin yaitu Mu’âwiyah bin Abi Sufyân. Khomaini mengatakan bahwa Mu’âwiyah terlaknat di dunia dan di akhirat dengan mendapat adzab di akhirat. Seolaholah dengan perkataannya ini, dia mengetahui perkara yang ghaib. Apakah Allah Azza wa Jalla telah mengikat perjanjian dengan dia ? Apakah Allah telah memberikan berita ghaib kepadanya ? sehingga dengan tegas dia berani mengucapkan perkataan ini.

Ini menunjukan betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh kaum muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan “Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.

AJARAN SYI’AH MASUK INDONESIA
Diawal tahun 1980, ajaran Syi’ah mulai masuk ke Indonesia, walaupun (sebatas yang saya ketahui) ketika itu, pemerintah awalnya menolak kedatangan tokoh tokoh Syi'ah ke indonesia untuk memperkenalkan ajaran mereka. Tetapi ada beberapa tokoh di Indonesia ini yang sangat berjasa bagi kelompok Rafidhah ini, diantaranya dua orang tokoh yang sangat berjasa. Keduanya berhasil meyakinkan pemerintah bahwa yang datang ini bukanlah murid-murid Khomaini tetapi lawan-lawannya serta mereka tidak membawa ajaran Khomaini. Pemerintah yang memang tidak paham ajaran Syi'ah [2], akhirnya memberikan ijin. Sejak itu, masuklah ajaran Syi’ah ke negeri kita ini. Secara pribadi, ketika itu, saya (penulis) telah mengingatkan kepada sebagian ustadz dan kaum Muslimin bahwa kalau kita tidak menjalaskan masalah Syi’ah ini kepada ummat, maka ajaran akan berkembang dan masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Namun, sangat disesalkan, mereka tidak mengindahkannya dan tetap menganggap perbedaan antara kita dengan Syi'ah hanya dalam masalah furu’iyyah. Padahal perbedaan kita dengan Syi'ah Raafidhah adalah perbedaan ushûl (pokok-pokok agama) dan furu’ yang keduanya tidak mungkin disatukan kecuali kalau salah satunya meniggalkan ajaran agamanya. Di antara perbedaan ushûl (pokok) yang sangat mendasar sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka akan menyebabkan seorang itu murtad yaitu :

Pertama : Keyakinan mereka bahwa al-Quran yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang dibaca, yang dihafal dan diyakini sebagai kitabullah yang diwahyukan kepada hambaNya dan RasulNya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui perantara Malaikat jibril Alaihissallam, telah tidak asli lagi. Menurut Syi’ah, al-Qur’ân telah dirubah, atau dikurangi oleh para sahabat yang dipimpin oleh tiga sahabat mulia yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsmân dan para sahabat lainnya. Keyakinan ini bisa menghancurkan seluruh isi al-Qur’ân, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran,dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya [al Hijr/15:9]

Sedangkan ajaran Râfidhah yang terus-menerus mereka katakan sampai saat ini, baik dengan lisan maupun tulisan bahwa al-Qur’ân yang asli adalah al-Qur’ân yang tiga kali lebih besar dibandingkan al-Qur’ân kita dan sangat berbeda dengan dengan al-Qur’ân. Al-Qur’an yang asli ini nanti akan dibawa oleh imam Mahdi menurut versi mereka dan dinamakan Mushaf Fathimah. Ini keyakinan mereka, walaupun sebagian mereka mengingkarinya tetapi pengingkaran itu hanya omong kosong karena ini merupakan taqiyah mereka.

Kalau keyakinan ini diyakini oleh kaum muslimin maka tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad, keluar dari agama Islam.

Kedua : Pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, seperti Abu Bakar as-shiddîq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunnûrain dan seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa sahabat yang jumlahnya sangat sedikit sedangkan selain yang sedikit ini semuanya kufur. Meyakini ini berarti membantah isi al-Qur’ân yang menyatakan keimanan dan kebesaran para sahabat serta keridhaan Allah Azza wa Jalla terhadap mereka. Kalau seorang muslim dan muslimah meyakini keyakinan ini berarti mereka telah murtad, keluar dari Islam.

Dua keyakinan Râfidhah ini tidak mungkin disatukan dengan keyakinan yang ada dalam Islam. Artinya, tidak mungkin seorang muslim dan seorang Râfidhi (Penganut agama Syi’ah) bersatu karena keyakinannya sangat berbeda. Ini berdasarkan dalil naqliyah dan aqliyah yang shahih yang memiliki ketegasan. Oleh karena itu para ulama zaman dahulu menyatakan bahwa orang yang paling bodoh terhadap dalil dalil naqliyah dan aqliyah serta paling sesat jalannya diantara orangorang mengaku Islam adalah Syi’ah atau Rafidhah ini. Karena dengan tegas, mereka membenarkan apa yang di dustakan dengan dalil-dalil naqliyah sam’iyah (dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah) juga yang didustakan oleh akal. Sebaliknya, mereka mendustakan apa yang jelas dan terang telah datang dari dalil-dalil naqliyah sam’iyah dan berdasarkan akal yang shahih. (Minhâjus Sunnah, 1/8)

Ketiga : Perbedaan ushûl lainnya adalah penyembahan terhadap manusia. Diantara orang orang yang menisbatkan diri kepada Islam, yang pertama kali membangun kubur-kubur dan kubah kubah adalah kaum Râfidhah. Mereka mengadakan peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Padahal ini sangat diharamkan dalam Islam dan merupakan syirik besar. Mewakili pengikutnya, Khomaini dalam bukunyanya Hukûmâtul Islâmiyah, halaman 52 mengatakan: “Sesungguhnya sesuatu yang pasti dari madzhab kami bahwa imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh seorangpun, baik seorang rasul yang diutus maupun oleh malaikat yang dekat.” Ini pernyataan tegas Khomaini. Ini menunjukkan sikap ghuluw mereka terhadap para imam mereka, yang mereka klaim memiliki derajat yang lebih tinggi dari para nabi dan rasul.

Dalam kitab yang sama, Khomaini manyatakan bahwa imam mereka tidak pernah lupa dan lalai. Ini adalah sifat Allah Azza wa Jalla karena hanya Allah lah yang tidak pernah lupa dan lalai. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan Rabbmu tidaklah lupa. [Maryam/19:64]

Ini merupakan salah satu bentuk penyembahan terhadap makhluk. Sikap ini tidak mungkin bisa disatukan dengan seorang muslim yang beraqidah shahih, yang bermanhaj dengan manhaj salaful ummah, yang hanya ruku’ dan sujud kepada Allah, yang meminta pertolongan hanya kepadaAllah. Oleh karena itu mereka membangun kuburan dan merekalah yang pertama kali memasukan penyembahan terhadap kubur kedalam islam, membangunnya serta mendirikan kubah-kubah. I

tulah beberapa ushûl diantaranya banyak ushûl lainnya yang membedakan Râfidhah dengan Islam sehingga tidak mungkin disatukan kecuali salah satunya meninggalkan agamanya.

Masalah ini sering tidak diketahui oleh tokoh-tokoh kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Karena Syi'ah selalu menyembunyikan keyakinan-keyakinan mereka kepada orang-orang yang belum menjadi pengikut setia mereka.

PERKEMBANGAN SYI’AH DI INDONESIA
Kurang lebih 30 tahun sudah berlalu sejak mulai menancapkan kukunya di Indonesia, kini kaum Râfidhah terutama di negeri kita ini telah berani memperlihatkan sebagian ajaran mereka secara terang-terangan. Ini mereka lakukan secara bertahap. Cara-cara mereka dalam memberikan pengajaran sangat halus dan awalnya tidak diketahui. Saya sebutkan diantaranya :

Pertama : Mereka mengatasnamakan diri ahlul bait (keluarga) Nabi. Padahal pada hakekatnya, mereka telah berbohong atas nama ahlul bait [3]. Kita tahu bahwa kaum muslimin, terutama di indonesia sangat mencintai ahlul bait tetapi kecintaan yang tidak berdasarkan ilmu tentang siapa ahlul bait ? Apa manhaj mereka ? Kecintaan seperti ini bisa menyeret seseorang kepada kultus dan al-ghuluw. Inilah yang diinginkan Syi'ah. Oleh karena itu, orang yang menyerang Syi'ah selalu dituduh benci kepada ahlul bait. Dan para pendahulupendahulu mereka seperti kaum Qarâmithah, Isma’iliyah, Bathiniyah telah membuat beberapa ajaran yang disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin untuk mendukung madzhab mereka. Diantaranya adalah perayaaan maulid nabi. Merekalah yang membuat acara ini pertama kali, bukan sulthan Shalahuddin al-Ayyubi. Menisbatkan perayaan mauled kepada Shalahuddin adalah penyimpangan, penipuan dalam sejarah.[4]

Cinta ahlul bait adalah merupakan keyakinan Islam. Kita mencintai keluarga Nabi sesuai dengan syariat Allah dan Rasulnya, tidak ditambah dan tidak di kurangi, tidak mengadakan penyembahan terhadap ahlul bait. Kita meyakini bahwa tidak ada yang ma’shûm (bebas dari dosa dan kesalahan) kecuali Nabi yang mulia. Jadi kecintaan kita tetap dalam batasan-batasan Islam bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Syi’ah.

Kedua : Dalam memberikan pengajaran, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’ân, tafsir-tafsir al-Qur’ân tidak melalui hadits atau sunnah. Karena mereka jauh sekali dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan mereka menolak hadits. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima hadits Bukhâri, Muslim dan lain-lain sementara para sahabat yang meriwayatkan haditshadits ini dianggap kafir ?! Mereka juga menvonis kufur kepada ahlus sunnah termasuk Bukhâri, Muslim dan ulama ahli hadits lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu memulainya dengan tafsir dengan meruju’ ke kitab-kitab tafsir Syi'ah [5]. Melalui kajian tafsir-tafsir al-Qur’ân yang awalnya biasa tapi lama-kelamaan menjadi aneh, karena seluruh ayat al-Qur’ân mereka tafsirkan dengan penafsiran mereka. Mereka selalu membuka kajian tafsir al-Qur’ân, tidak ada yang membuka kajian shahih Bukhâri kecuali untuk di hina, di kritik dan selanjutnya di tolak. Mereka mulai mentafsirkan, ini untuk Ali Radhiyallahu 'anhu dan siksaan ini untuk Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan lain sebagainya. Walaupun pada awalnya, mereka belum menyebut nama Abu Bakar,Umar dan Utsman Radhiyallahu 'anhuma karena ketiga shahabat ini memiliki kedudukan tinggi di hati kaum muslimin termasuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Syi’ah menempu cara-cara kaum zindiq yaitu meninggikan sebagian dan merendahkan sebagian dalam waktu yang bersamaan agar mereka dapat menghancurkan secara keseluruhan. Mereka meninggikan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu setinggi-tinggi sampai disamakan dengan Rabbul a’lamin sementara mereka merendahkan Abu Bakar, Umar, Utsman Radhiyallahu 'anhum dan hampir seluruh para sahabat Rasulullah dengan serendah-rendahnya.

Ketiga : Mengkritik sebagian sahabat. Mereka mulai dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu kemudian yang lainnya sampai hampir seluruh para sahabat. Untuk mencapai tujuan ini di negeri kita, mereka memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga saat ini, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunûrain, mereka hinakan dan kafirkan terangterangan. Bahkan tersebar selebaran yang mengkafirkan sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha dan para sahabat lainnya. Mereka memasukan berbagai macam syubhat kepada kaum muslimin lalu mulai mengklasifikasikan para sahabat menjadi yang betulbetul sahabat Nabi dan yang munafiq. Selanjutnya dibawakan sebagian ayat-ayat al-Qur’ân sehingga sebagian kaum muslimin yang mengikuti majlis mereka terpengaruh dan tidak memperdulikan serta tidak lagi memakai ijmâ’ para ulama mengenai para shahabat. Yaitu semua para sahabat adalah adil.

Keempat : Mengkritik hadits-hadits. Awalnya, mereka mengkritik satu atau dua buah hadits dalam Shahîh Bukhâri yang dinyatakan tidak sah, mustahil atau dusta. Semua justifikasi ini berdasarkan akal dan ra’yu mereka yang jahil. Dan itulah salah satu sifat mereka,mengkritik, membantah, dan menolak tanpa hujjah. Oleh karena itu ahlus sunnah menyatakan bahwa bantahan dan penolakan semata bukanlah ilmu. Ilmu adalah memberikan jawaban ilmiyah, membantah ilmiyah dengan menegakkan hujjah yang selanjutnya menyeselasaikan permasalahan. Ini yang disebut ilmu. Adapun semata-mata menolak, mungkin anak-anak yang telah tamyiz mampu melakukannya.

Inipun mereka lakukan secara bertahap serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Mereka mengkritik dan menolak hadits-hadits di Bukhâri dan Muslim. Tapi anehnya, apabila ada hadits yang menguatkan madzhab mereka, mereka memakainya padahal mereka telah mengkafirkan Imam Bukhâri dan Muslim !?

Kelima : Memberikan kesan bahwa bahwa Syi’ah merupakan madzhab yang kelima dalam Islam dan perbedaan mereka adalah perbedaan furu’iyah, ijtihadiyah, ilmiyah secara global tanpa ta’shîl (penegakan terhadap hujjah) dan tafshîl (terperinci) sehingga ini juga mempengaruhi kaum Muslimin.

Keenam : Mendakwahkan ajaran yang sangat menarik bagi orang-orang memiliki penyakit hati yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah (kontrak) tanpa wali tanpa saksi kecuali dengan mahar pemberian dan ada ikatan perjanjian antara kedua pihak laki dan wanita. Biasanya dilakukan selepas majlis mereka. Mereka mengikat perjanjian kontrak satu hari, dua hari dan sterusnya dan boleh untuk satu kali berhubungan saja. Kalau begitu apa bedanya dengan zina. Bahkan Khomaini di sebagian fatwanya membolehkan bermut’ah dengan pelacur !!!

Ketujuh : Berusaha menjauhkan kaum Muslimin dan memberikan kesan buruk terhadap sebuah ajaran yang mereka benci yaitu Wahabi. Kalimat ini sering diulang-ulang, tanpa ada penjelasan terperinci, siapa dan apa ajaran Wahabi itu. Sehingga setiap ajaran dakwah atau yang berlawanan dengan Syi'ah dijauhi oleh kaum Muslimin. Padahal sebenarnya, lafadz ini disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada ajaran dakwah al-Imam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab. Lalu mereka memanfaatkannya untuk menjauhkan kaum Muslimin dari dakwah yang haq ini.

KEPADA SIAPA MEREKA MASUK ?
Sepanjang penelitian saya selama kurang lebih tiga puluh tahun tentang mereka secara berjahuan maupun berdekatan, saya melihat bahwa mereka memasuki semua lapisan masyarakat dengan cara-cara yang berbeda. Berikut perinciannya:

Tingkatan Pertama : Mereka mempegaruhi masyarakat awam dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang-orang awam. Dikalangan orangorang awam ini, mereka tidak akan mampu mengkafirkan seluruh para sahabat karena orangorang awam walaupun mereka beragama dengan cara taqlid buta, mereka sangat mencintai para sahabat. Kalau mereka langsung mengkafirkan atau mengkritik Abu Bakar, Umar,Utsmân dan para sahabat yang lainnya ditengah masyarakat awam, tentu mereka akan ditinggalkan. Untuk mendekati masyarakat awam dengan cara kultus terhadap manusia atas nama ahlul bait. Bahkan mereka membuat berbagai bait-bait syair yang mengantarkan kepada pengkultusan terhadap Nabi. Mereka meninggikan Nabi lebih tinggi dari yang telah tetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, dengan cara tawassul ataupun istighatsah, yang berujung pada syirik besar. Dimulai dengan pendekatan dengan mengatasnamakan ahlul bait kemudian pemujaan terhadap manusia dengan membangun kubur-kubur serta meminta kepada penghuni kubur-kubur serta penyebaran berbagai macam bid’ah lainnya yang berasal dari Syi'ah ini lapisan bawah.

Tingkatan Kedua ; Mendakwahi para pelajar khususnya mahasiswa. Untuk lapisan ini, mereka masuk lewat penyebaran nikah mut’ah karena para pemuda ini memang sangat aktif mencari hal-hal baru untuk kemudian dicoba. Setelah memberikan kenikmatan syaithaniyah, mereka mulai mendekati para pemuda ini dengan memberikan image (gambaran) bahwa ajaran Syi’ah itu benar dan lain sebagainya. Oleh karena itu tokoh-tokoh mereka mengajar diberbagai perguruan tinggi untuk menjerat para mahasiswa yang mayoritasnya kosong dari ajaran Islam, aqidah shahihah serta tidak gemar duduk di majlis-majlis ahli ilmu. Para mahasiswa ini terus didekati sampai akhirnya menjadi Rafidhah tulen dan diharapkan menjadi kaum intlektual yang memegang pemerintahan di negeri ini. Ini harapan mereka, Semoga Allah Azza wa Jalla menghancurkan rencana buruk mereka.

Tingkatan Ketiga : Memasuki media masa, yang cetak maupun elektronik. Melalui media-media ini, mereka menampilkan tentang Rafidhah sedikit demi sedikit, dengan dalih sebagai khazanah islamiyah. Stasiun televisi tidak luput dari mereka. Namun tentunya, mereka tidak terang-terangan membawakan ajaran mereka. Kecuali salah satu dari tokoh mereka yang pernah saya dengar langsung dengan telinga saya dan saya lihat dengan kedua mata saya bahwa dia mengatakan bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma adalah seorang penakut (Allahu Akbar ). Orang yang hina ini telah merendahkan seorang sahabat mulia, alim lagi ‘âbid yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

Sebaik-baik orang adalah Abdullah Bin Umar kalau sekiranya dia shalat malam. [HR Bukhari, no. 3738, 3739, 3740 dan 3741]

Sejak itu, Abdullah bin Umar tidak pernah meninggalkan shalat malam.

Tingkatan Keempat : Mereka memberikan pengajaran kepada kaum intelektual khususnya kepada pendukung mereka yang saya istilahkan alumni dari oreintalis. Mereka ini dididik, di jadikan anak angkat dan di susui oleh orang-orang Yahudi di negeri-negeri Barat yang notebenenya sangat membenci Islam. Mereka mendapat dukungan kuat sehingga paling tidak kaum intelektual ini bersikap netral atau toleran tidak mempermasalahkan antara Sunni dengan Syi'ah. Ini langkah pertama, langkah kedua dan selanjutnya, mereka mulai membuat program-program yang bisa menjebak tokoh-tokoh ini kedalam Râfidhah tulen.

Tingkatan Kelima : Mendekati para pejabat negeri yang memegang tampuk pemerintahan untuk diberikan pelajaran-pelajaran tentang Syi’ah. Paling tidak, mereka merasa untung dan menang kalau pejabat ini mengetahui ajaran Râfidhah, apalagi mendukungnya.

Tingkatan Keenam : Masuk ke partai politik dengan menjadi tim-tim sukses partai-partai politik.

Tingkatan Ketujuh : Membuat pengajianpengajian untuk ibu-ibu karena peran wanita sangat penting sekali dan sangat besar sekali. Oleh karena itu mereka membutuhkan ibu-ibu untuk mendukung ajaran mereka. Berdasarkan kenyataan ini, saya sering mengingatkan bapak-bapak agar hati-hati dan memperhatikan pengajian istrinya, jangan sampai istri-istri mereka terjebak dalam ajaran Syi’ah.

Barang kali ini yang bisa kita bahas sekilas tentang perkembangan dan gerakan Syi’ah di Indonesia. Mereka membuat tipu daya, semoga Allah menghancurkan tipu daya mereka. Dan, Alhamdulillah saat ini perkembangan dakwah sunnah sangat mengkhawatirkan mereka

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ini merupakan taqiyah mereka karena taqiyah adalah bagian dari agama mereka. Mereka mengatakan bahwa “Taqiyah (bohong) adalah agama kami.” Para pembaca dapat meruju’ ke muqodimah yang sangat berharga oleh al-imam as-salafi Muhibbudien al-Khatib dalam muqodimahnya terhadap kitab Adz Dzahabi yang meringkas kitab gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Minhâjus Sunnah” dengan judul al-Muntaqa’
[2]. Jangankan pemerintah bahkan sebagian besar tokoh agama pun tidak paham
[3]. Untuk lebih mengetahui masalah ini, para pembaca bisa meruju’ ke kitab Prof. Ihsan Ilahi Dzhahir yang berjudul “Syiah dan Ahlul Bait”. Sebuah kitab yang sangat menarik karya seorang alim yang mengetahui tentang ajaran Syi’ah
[4]. Para pembaca yang terhormat dapat merujuk kepada buku ustadz Ibnu Saini yang telah menulis dan menyingkap masalah sebenarnya dalam bab ini
[5]. Dan faktanya, kaum Muslimin memang sangat awam sekali terhadap kitab-kitab tafsir. Oleh karena, seyogyalah kaum Muslimin, para tokohnya, asatidzah, dan pelajar meninggikan kitab-kitab tafsir ahlu sunnah yang berjalan diatas manhaj salafus shalih seperti tafsir al-Imam ath-Thabari, tafsir al-Haafidz Ibnu Katsir atau kitab tafsir sebelumnya yaitu tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Selengkapnya...

Minggu, 03 Juli 2011

NU dan Pandangannya Terhadap Aliran Sy’iah

Oleh: Kholili Hasib

TABLIGH Akbar menolak Syi’ah di Masjid al-Furqan-DDII pada 10 Juni 2011 lalu yang dihadiri oleh ormas-ormas Islam layak kita bicarakan kembali. Dari NU, hadir kubu muda, Gus Idrus Romli mewakili PWNU Jawa Timur. Gus Idrus, dikenal sebagai Kyai muda NU asal Jember yang rajin keliling kantong-kantong NU menjelaskan kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sejak didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, NU melalui pendirinya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham Syi’ah ini. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah.

Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain; "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.

Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.

Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).

Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW.

Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah, Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi SAW itu.

Hadis Nabi SAW yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.

Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut.

Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah SWT.

Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama. Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab tersebut.

Jika Syeikh Hasyim Asy’ari mengangkat isu-isu kesesatan Syi’ah dalam “Muqaddimah Qanun Asasi”, itu berarti persoalan kontroversi Syi’ah dinilai Syeikh Hasyim sebagai persoalan sangat penting untuk diketahui umat Islam Indonesia. Artinya, persoalan Syi’ah menjadi agenda setiap generasi Nahdliyyin untuk diselesaikan sesuai dengan pedoman dalam kitab tersebut.

Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain. Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi orang yang mencaci sahabatnya.

Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyyadl.

Hadis-hadis Nabi SAW yang dikutip dalam dua kitab tersebut antara lain berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka dia akan mendapat laknat Allah SAW, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.

Pandangan yang sama pernah dilontarkan oleh KH. As’ad Syamsul ‘Arifin (alm), kyai kharismatik dari PP. Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo Jawa Timur pada tahun 1985. Saat itu Kyai As’ad diwawancarai Koran Surabaya Pos tentang faham Syi’ah di Jawa Timur. Kyai yang disegani oleh warga nadliyyin itu menampakkan sikap tegas, menurutnya kelompok Syi’ah ekstrem harus dihentikan di Indonesia. Agar tidak meluas gerakannya, Kyai As’ad mengimbau umat Islam Indonesia diminta meningkatkan kewaspadaannya (dikutip dari Majalah AULA no I/Tahun XVII/Januari 1996 halaman 23).

Jadi, sebenarnya sejak awal pendiri NU berpandangan bahwa paham Syi’ah telah melakukan penodaan agama. Bahkan jika mengamati butir-butir fatwa Syeikh Hasyim tersebut, penodaan Syi’ah itu telah melampau batas dan menukik jauh ke dalam keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga, sejak awalnya paham Syi’ah tidak diterima di kalangan NU.

Wacana-wacan NU untuk kembali ke khittah 1926 selayaknya tidak sekedar dimaknai bercerai dengan partai politik manapun, akan tetapi yang lebih terpenting lagi adalah khittah yang telah dibangun pendiri NU dilaksanakan saat ini oleh semua elemen warga NU. Yaitu khittah kembali kepada kitab Qanun Asasi.

Operasionalisasi khittah ini adalah membendung aliran sesat, seperti Syi’ah dan Ahmadiyyah. Khittah ini dapat dimaknai sebagai khittah untuk menjaga kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bersih dari berbagai aliran-aliran sempalan yang menodai agama Islam. Karena berdirinya jam’iyyah NU adalah untuk menyebarkan paham yang benar tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Memang sudah semestinya, NU bersikap tegas terhadap aliran Syi’ah. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam (ISID) Gontor Ponorogo Jurusan Ilmu Akidah



Selengkapnya...