Di antara nama Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun), dan di antara sifat-sifat-Nya adalah maghfirah (memberi ampunan). Sesungguhnya para hamba sangat membutuhkan ampunan Allah Azza wa Jalla dari dosa-dosa mereka, dan mereka rentan terjerumus dalam kubangan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَذَهَبَ اللََّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُوْنَ فَيَسْتَغْفِرُوْنَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian, dan Dia pasti akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka akan memohon ampun kepada Allah, lalu Dia akan mengampuni mereka. [HR. Muslim, no. 2749]
Dosa telah ditakdirkan pada manusia dan pasti terjadi. Allah Azza wa Jalla telah mensyariatkan faktor-faktor penyebab dosanya, agar hatinya selalu bergantung kepada Rabbnya, selalu menganggap dirinya sarat dengan kekurangan, senantiasa berintrospeksi diri, jauh dari sifat ‘ujub (mengagumi diri sendiri), ghurûr (terperdaya dengan amalan pribadi) dan kesombongan.
Dosa-dosa banyak diampuni di bulan Ramadhan, karena bulan itu merupakan bulan rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Bulan Ramadhan juga merupakan bulan kesabaran yang pahalanya adalah surga. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas. [az-Zumar/39:10]
Puasa adalah perisai dan penghalang dari dosa dan kemaksiatan serta pelindung dari neraka. Dalam hadits shahîh dijelaskan:
الصَّحَابَةُ : أَمَّنْتَ يَا رَسُوْلَ اللَّه قَالَ : جَاءَنِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ :بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْلَهُ قُلْتُ : آمِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الشَّانِيَةُ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ ذُكِرتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ قُلْتُ : آمِِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الشَّالِشَةَ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ قُلْتُ آمِيْن
Sesungguhnya Nabi mengucapkan amîn sebanyak tiga kali tatkala Jibril berdoa. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Engkau telah mengucapkan amîn”. Beliau menjawab: “Jibril telah mendatangiku, kemudian ia berkata: “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu tidak diampuni”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata: “Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya lalu tidak mengucapkan salawat kepadamu”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya, lalu mereka tidak memasukkannya ke dalam surga”. Maka aku jawab: “Amîn”. [1]
Seorang Muslim yang berusaha mendapatkan ampunan dosa, akan berbahagia dengan adanya amalan-amalan shalih agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan dosa dan perbuatan jeleknya, karena kebaikan bisa menghapus kejelekan.
Sebab-sebab ampunan yang disyariatkan itu di antaranya:
1. TAUHID
Inilah sebab teragung. Siapa yang tidak bertauhid, maka kehilangan ampunan dan siapa yang memilikinya maka telah memiliki sebab ampunan yang paling agung. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [an-Nisâ‘/4:48]
Siapa saja yang membawa dosa sepenuh bumi bersama tauhid, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan ampunan sepenuh bumi kepadanya. Namun, hal ini berhubungan erat dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Apabila Diak berkehendak, akan mengampuni. Dan bisa saja, Dia Azza wa Jalla berkehendak untuk menyiksanya. Siapa yang merealisasikan kalimatut tauhîd di hatinya, maka kalimatut tauhîd tersebut akan mengusir kecintaan dan pengagungan kepada selain Allah Azza wa Jalla dari hatinya. Ketika itulah dosa dan kesalahan dihapus secara keseluruhan, walaupun sebanyak buih di lautan. ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menyendirikan seorang dari umatku (untuk dihadapkan) di depan semua makhluk pada hari Kiamat. Lalu Allah menghamparkan sembilan puluh sembilan lembaran (catatan amal) miliknya. Setiap lembaran seperti sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman: “Apakah kamu mengingkarinya? Apakah malaikat pencatat amalan menzhalimimu”. Maka ia pun menjawab: “Tidak wahai Rabbku”. Lalu Allah berfirman lagi: “Apakah kamu memiliki udzur?” ia menjawab: “Tidak ada wahai Rabb”. Lalu Allah berfirman: “(Yang benar) ada, sesungguhnya kamu memiliki kebaikan di sisi Kami, tidak ada kezhaliman atasmu pada hari ini”. Lalu dikeluarkan satu kartu berisi syahadatain. Kemudian Allah berfirman: “Masukanlah dalam timbangan!” Ia pun berkata: “Wahai Rabbku apa gunanya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran itu?” Maka Allah berfirman: “Sungguh kamu tidak akan dizhalimi”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut diletakkan dalam satu anak timbangan dan kartu tersebut di anak timbangan yang lain. Ternyata lembaran-lembaran terangkat tinggi dan kartu tersebut lebih berat. Maka tidak ada satu pun yang lebih berat dari nama Allah”. [2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi menyatakan:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًاَلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah berfirman: Wahai anak keturunan Adam, seandainya kamu membawa dosa sepenuh bumi kemudian kamu menjumpai-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Ku (tidak berbuat syirik) tentu saja Aku akan membawakan untukmu sepenuh bumi ampunan. [HR Muslim].
Ini adalah keutamaan dan kemurahan dari Allah Azza wa Jalla dengan pengampunan seluruh dosa yang ada pada lembaran-lembaran tersebut dengan kalimat tauhid. Karena kalimat tauhid adalah kalimat ikhlas yang menyelamatkan pemiliknya dari adzab. Allah Azza wa Jalla menganugerahinya surga dan menghapus dosa-dosa yang seandainya memenuhi bumi; namun hamba tersebut telah mewujudkan tauhid, maka Allah Azza wa Jalla menggantikannya dengan ampunan.
2. DOA DENGAN PENGHARAPAN
Allah Azza wa Jalla memerintahkan berdoa dan berjanji akan mengabulkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [Ghâfir/40:60]
Doa adalah ibadah. Doa akan dikabulkan apabila memenuhi kesempurnaan syarat dan bersih dari penghalang-penghalang. Kadangkala, pengabulan itu tertunda, karena sebagian syarat tidak terpenuhi atau adanya sebagian penghalangnya.
Di antara syarat dan adab terkabulnya doa adalah kekhusyukan hati, mengharapkan ijâbah dari Allah Azza wa Jalla, sungguh-sungguh dalam meminta, tidak menyatakan insya Allah (Ya Allah Azza wa Jalla, kabulkanlah permintaanku bila Engkau menghendakinya-red), tidak tergesa-gesa mengharap pengabulan, memilih waktu-waktu dan keadaan yang mulia, mengulangulang doa tiga kali dan memulainya dengan pujian kepada Allah Azza wa Jalla dan shalawat, berusaha memilih makanan dan minuman yang halal dan lain-lain.
Di antara permohonan terpenting yang dipanjatkan seorang hamba kepada Rabbnya yaitu permohonan agar dosa-dosanya diampuni atau pengaruh dari pengampunan dosa seperti diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Kepada seseorang yang berujar: “Saya tidak mengetahui doamu dengan perlahan yang juga dilakukan Mu’âdz.
”حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ
Permohonan kami di seputar itu. [3]
Maksudnya doa kami itu berkisar pada permohonan agar dimasukkan surga dan diselamatkan dari neraka. Abu Muslim al-Khaulâni mengatakan: “Tidaklah datang kesempatan berdoa kepadaku, kecuali saya jadikan doa itu permohonan agar dilindungi dari api neraka.”
3. ISTIGHFÂR (MEMOHON AMPUNAN)
Permohonan ampun ini merupakan pelindung dari adzab, penjaga dari setan, penghalang dari dari kegelisahan, kefakiran dan penderitaan, pengaman dari masa paceklik dan dosa; meskipun dosa-dosa seseorang telah menggunung sampai menyentuh langit. Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَادَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ فِيْكَ وَلاَأُبَالِىْ يَاابْنَ آدَمَ لَؤْ بَلَغَتْ ذُنُوْ بُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أََتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai bani Adam, sesungguhnya selama engkau masih berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak akan peduli; Wahai bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli; Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan seukuran bumi kemudian engkau datang menjumpai-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik atau menyekutukanKu dengan apapun juga, maka sungguh Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan seukuran bumi juga. [HR. at-Tirmidzi]
Membaca istighfâr adalah penutup terbaik bagi berbagai amalan, umur, serta penutup majelis.
4. BERPUASA DI SIANG HARI DAN SHALAT MALAM KARENA IMAN, MENGHARAPKAN BALASAN PAHALA DARI ALLAHk, IKHLAS SERTA DALAM RANGKA TAAT KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Dia berpuasa bukan dengan niat mengikuti orang banyak, juga tidak untuk mendapatkan sanjungan orang, tidak untuk melestarikan adat atau supaya sehat; juga tidak berniat pamer serta tidak untuk mensukseskan urusan duaniawi. Dia juga tidak berniat untuk mendoakan keburukan yang tidak pantas buat seorang Muslim. Dia melaksanakan ibadah puasa terdorong oleh niat beriman kepada Allah Azza wa Jalla, merealisasikan ketaatan kepada-Nya dan mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Dalam sebuah hadits dinyatakan :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[al-Bukhâri dan Muslim]
Alangkah luar biasanya seorang yang melaksanakan ibadah puasa lalu keluar dari ibadahnya dalam keadaan sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibundanya, yaitu tidak menanggung dosa dan berhati suci.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُم قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan saya menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah puasa dan shalat malamnya karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala, niscaya dia keluar dari dosadosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibundanya.[4]
Dengan melaksanakan semua ini berarti seorang Muslim telah menjaga waktu siangnya dengan puasa, memelihara waktu malamnya dengan shalat tarawih serta berusaha mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla
.
5. MELAKSANAKAN SHALAT MALAM PADA LAILATUL QADAR KARENA IMAN DAN INGIN MENDAPATKAN PAHALA
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang Allah Azza wa Jalla muliakan, melebihi semua malam lainnya, suatu malam saat Allah k menurunkan kitab-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur‘ân) pada malam kemuliaan. [al-Qadr/97:1]
Allah Azza wa Jalla menjadikan Lailatul Qadar ini lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam ini para malaikat turun dan menjadikannya malam keselamatan dari segala keburukan dan dosa. Allah Azza wa Jalla mengkhususkan satu surat dalam al-Qur’ân yang membicarakan tentang malam ini. Orang yang terhalang dari berbagai kebaikan pada malam ini berarti dia terhalang dari semua kebaikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Lailatul Qadar ini pada seluruh hari pada bulan Ramadhan, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kemudian sepuluh hari kedua dan sepuluh hari terakhir. Orang yang ingin mendapatkan keberuntungan, maka dia akan antusias untuk melaksanakan shalat malam pada malam yang lebih baik dari delapan puluh tiga tahun dan empat bulan.
Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni semua dosanya yang telah lewat. [5]
Untuk mendapatkan ampunan di malam itu, tidak disyaratkan untuk menyaksikannya secara langsung. Namun syaratnya adalah orang melakukan qiyamul lail sebagaimana tertuang dalam hadits tersebut.
6. BERSEDEKAH
Bersedekah termasuk salah satu qurbah (ibadah yang mendekatkan diri) yang agung di hadapan Allah Azza wa Jalla . Dengannya, seorang hamba memperoleh kebaikan, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan. sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Ali Imrân/3:92].
Dalam hadits Mu’âdz, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَبِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّهٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِىءُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِىءُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ
“Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai. Bersedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan shalat seseorang di kegelapan malam …” [at-Tirmidzi no: 2541]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang sangat dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau berjumpa dengan malaikat Jibril. Saat itu beliau lebih berbaik hati daripada angin yang bertiup sepoi-sepoi. Di antara bentuk sedekah terbaik adalah memberi makan orang yang puasa (ifthârus shâim). Disebutkan dalam hadits:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِشْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّا ئِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi buka puasa bagi orang yang puasa maka ia memperoleh pahala sepertinya, tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” [HR. at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni]
Pahala orang yang bersedekah dilipatgandakan sampai tujuh ratus lipat dan kelipatan yang lebih banyak lagi. Di bulan Ramadhan, penggandaan pahala itu semakin besar. Di antara pemandangan yang sangat menarik, antusiasme orang di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan masjid-masjid lainnya untuk memberi buka puasa bagi kaum Muslimin di bulan Ramadhan.
7. MELAKUKAN UMRAH
Ibadah umrah termasuk faktor yang menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Ibadah umrah ke ibadah umrah (berikutnya) adalah penggugur dosa antara keduanya. Dan pahala haji mabrur tiada lain adalah surga” [al-Bukhâri no: 1650]
Umrah di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar daripada di bulanbulan lainnya. Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehabis pulang dari haji Wada’ berkata kepada seorang wanita dari Anshar bernama Ummu Sinân : “Apa yang menghalangimu untuk berhaji (denganku).” Ia menjawab: “Abu Fulan (suaminya) memiliki dua onta. Salah satu dipakainya untuk berhaji dan yang lain untuk mengairi persawahan.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمََضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِيْ
“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan dapat mengganti haji bersamaku.”[HR Bukhâri no 1863; Muslim no 3028]
Betapa besar keberuntungan orang yang umrah di bulan Ramadhan. Ia bagaikan berhaji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti orang yang menyertai beliau dalam ihram, sai dan thawaf dan seluruh manasik haji beliau.
8. MENYEMPURNAKAN PUASA SEBULAN PENUH
Ada sekian banyak orang yang akan bebas dari api neraka di bulan Ramadhan, dan itu terjadi di setiap malam. Allah Azza wa Jalla menyempurnakan pahala orang-orang yang sabar tanpa perhitungan khusus. Ada Ulama yang mengatakan:
مَنْ صَامَ الشَّهْرَ وَاسْتَكْمَلَ اْلأَجْرَ وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ فَقَدْ فَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبَّ
Barang siapa berpuasa sebulan penuh dan meraih pahala sempurna, dan berjumpa dengan malam lailatul qadar, sungguh ia telah menggapai hadiah dari Allah.
Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa kita sekalian dan menutupi kekurangan-kekurangan kita dan memudahkan segala urusan kita.
Diambil dari kitab Tadzkîrul Anâm Bidurûs ash-Shiyâm, karya Syaikh Sa‘d bin Sa‘îd al-Hajri, Dâr Ibnul Jauzi hlm 265-27
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Penulis kitab Nadhratun Na’îm (10/5014) berkata : Hadits ini dikeluarkan al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (4/154) dan berkata: hadits ini shahîh sanadnya, namun imam al-Bukhâri dan Muslim tidak mengeluarkannya. Imam adz-Dzahabi menyetujui hal ini. (Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb).
[2]. HR at-Tirmidzi kitab Iman bâb Mâ Jâ‘a Fîman Yamûtu Wahuwa Yasyhadu An Lâ Ilâha Illallâh dan dishahîhkan al-Albâni dengan no. 2639
[3]. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 3163
[4]. Penyusun kitab Nadhratun Na’îm mengatakan : Diriwayatkan oleh Imam an-Nasî’i 4/158 dan lafazh ini adalah lafazh imam an-Nasâ’i; diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad 1/191. Syaikh Ahmad Syâkir mengatakan : “Sanad hadits ini shahîh.”
[5]. HR Imam Muslim, Kitâb Shalâtil Musâfirîn, bab At-Targhîb Fî Qiyâmi Ramadhân Wa Huwa Shalâtut Tarâwîh, no. 1778
Sabtu, 06 Agustus 2011
MERAIH AMPUNAN ALLAH AL-GHAFUR DI BULAN RAMADHAN YANG MULIA
Minggu, 31 Juli 2011
Keutamaan Bulan Ramadhan
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Sebentar lagi kita akan menginjak bulan Ramadhan. Sudah saatnya kita mempersiapkan ilmu untuk menyongsong bulan tersebut. Insya Allah, kesempatan kali ini dan selanjutnya, muslim.or.id mulai menampilkan artikel-artikel seputar puasa Ramadhan. Semoga dengan persiapan ilmu ini, ibadah Ramadhan kita semakin lebih baik dari sebelumnya.
Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an
Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”[1]
Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
”Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”[2]
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.” [3]
Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan
Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).
Dan Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
”Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah[4]. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.[5]
Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ
”Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”[6]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”.[7] An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.”[8] An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”[9]
Raihlah berbagai keutamaan di bulan tersebut, wahai Saudaraku!
Semoga Allah memudahkan kita untuk semakin meningkatkan amalan sholih di bulan Ramadhan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2/179.
[2] HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/188.
[4] Tafsir Ath Thobari, 21/6.
[5] Zaadul Masiir, 7/336-337.
[6] HR. Al Bazaar, dari Jabir bin ‘Abdillah. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/149) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh (terpercaya). Lihat Jaami’ul Ahadits, 9/224.
[7] HR. At Tirmidzi no. 3598. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[8] Al Majmu’, 6/375.
[9] Idem.
Selengkapnya...
Sabtu, 30 Juli 2011
CARA AHLUL BID’AH BERARGUMENTASI
Peringkas
Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf
Pendahuluan
Setiap (kelompok) yang menyimpang dari Sunnah namun mendakwahkan dirinya menerapkan Sunnah, mesti akan takalluf (memaksakan diri) mencari-cari dalil untuk membenarkan tindakannya (penyimpangan) mereka. Karena, kalau hal itu tidak mereka lakukan, (perbuatan mereka) mengesampingkan Sunnah itu sendiri telah membantah dakwaan mereka.
Setiap pelaku bid’ah dari kalangan umat Islam ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah -berbeda dengan firqah-firqah lain yang menyelisihinya- hanya saja mereka belum sampai kepada derajat memahami tentang Sunnah secara utuh. Hal itu mungkin karena tidak dalamnya pemahaman mereka tentang perkataan bahasa arab dan kurang paham maksud-maksud yang dikandung Sunnah. Atau, mungkin juga karena tidak dalamnya pemahaman mereka dalam hal pengetahuan kaidah-kaidah ushul sebagai landasan ditetapkannya hukum-hukum syari’at, atau mungkin pula karena dua hal tersebut sekaligus.
Tentang golongan kedua, yaitu tidak dalam pengetahuannya tentang kaidah-kaidah ushul , yang condong dan menyimpang dari kebenaran, kita mendapatkan dua sifat pada mereka berdasarkan ayat Al-Qur’an.
Sifat Pertama, yaitu sifat condong dan menyimpang, yaitu pada firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan (dari kebenaran).” [Ali Imran : 7]
Condong dalam ayat di atas maknanya adalah menyimpang dari jalan yang lurus; dan hal itu merupakan bentuk celaan terhadap mereka.
Sifat Kedua, tidak mendalamnya ilmu mereka (tentang kaidah-kaidah ushul). Menurutmu, bagaimana jadinya bila dia mengikuti (suatu dalil) hanya karena ingin mencari fitnah? Kita sering melihat orang-orang bodoh berhujjah untuk (membela) diri mereka dengan dalil-dalil yang batil; atau dalil-dalil yang shahih, (tapi hanya sepotong-sepotong); sebagian dalil dilirik dan dalil-dalil yang lain dibuang, baik dalam urusan pokok maupun cabang, baik yang mendukung pendapatnya ataupun yang bertentangan dengannya.
Banyak di antara mereka yang mengaku memiliki ilmu, ternyata mengambil cara ini sebagai jalannya. Dia pun mungkin saja memberikan fatwa sesuai dengan yang dikehendaki dalil dan mengamalkan apa yang telah difatwakannya itu dan tujuan (tertentu). Cara seperti ini bukan merupakan kebiasaan orang-orang yang mendalam ilmunya. Cara itu tidak lain merupakan kebiasaan orang-orang yang tergesa-gesa, yang menurut dakwaannya hal itu adalah menjadi solusi.
Dari ayat yang telah disebutkan di muka kita dapatkan bahwa sifat menyimpang dari kebenaran tidak akan terjadi pada seorang yang mendalam ilmunya. Walaupun tidak semuanya begitu, akan tetapi seseorang yang mendalam ilmunya tidak akan menyimpang dari kebenaran dengan sengaja.
Jalan Yang ditempuh Orang Yang Menyimpang
Sesungguhnya orang yang mendalam ilmunya memiliki jalan yang mereka tempuh dalam mengikuti kebenaran, dan orang-orang yang menyimpang mempunyai jalan lain yang berbeda.
Kita perlu mengetahui jalan-jalan yang ditempuh oleh mereka (orang-orang yang menyimpang) untuk kita jauhi. Mari kita perhatikan sebuah ayat yang menyebutkan bagaimana jalan mereka dan bagaimana jalan orang-orang yang mendalam ilmunya. Allah Ta’ala berfirman:
“ Artinya : Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah.
Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lainnya karena itu akan mencerai
Beraikan kalian dari jalan-Nya.” [Al-An’am: 153]
Ayat di atas menyebutkan bahwa jalan kebenaran hanyalah satu, sedangkan kebatilan memiliki jalan-jalan yang banyak; tidak hanya satu, dan tidak terbatas jumlahnya.
Kemudian mari kita perhatikan pula sebuah hadist yang menafsirkan ayat tersebut yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
“ Artinya : (Suatu Ketika) di hadapan kami Rasulullah menggambarkan satu garis,lalu berkata, ‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggambarkan garis-garis lain yang banyak di kanan dan kiri garis tadi, lalu berkata, ‘Ini adalah jalan-jalan lain (selain jalan Allah), yang pada setiap jalan tersebut ada syaitan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membacakan ayat ini.” [Hadist Shahih]
Dalam hadist di atas disebutkan adanya garis(maksudnya kelompok-kelompok sesat) yang banyak, beragam dan tidak terbatas jumlahnya. Secara naqli kita tidak boleh membatasi jumlahnya; begitu juga secara aqli ataupun istiqra’ (penelitian). Akan tetapi akan kita sebutkan beberapa patokan secara umum untuk dijadikan pedoman melihat kelompok-kelompok tersebut, yaitu:
[1]. Mereka Bersandar Kepada Hadist-Hadist Lemah
Hadist-hadist yang lemah sandnya besar kemungkinan tidak diucapkan pleh Nabi. Jadi tidak mungkin suatu hukum didasarkan kepada hadist-hadist seperti itu. Bagaimana bila hadist-hadist yang mereka jadikan hujjah telah dikenal dusta?
[2]. Mereka Menolak Hadist-Hadist (Shahih), Yang Tidak Sejalan Dengan Tujuan Dan Madzhab Mereka.
Mereka mengatakan bahwa (hadist-hadist) seperti itu menyelisihi akal, tidak mengacu kepada maksud suatu dalil, maka harus ditolak. Dengan berdalih seperti itu mereka mengingkari siksa kubur, ash-shirath (jembatan), mizan (timbangan amal), dan ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat nanti. Mereka juga menolak hadist tentang ‘lalat’ dan (perintah untuk) membunuhnya (yaitu dengan membenamkan ke dalam minuman yang dimasukinya. pent). Mereka tidak mempercayai bahwa pada salah satu sayap lalat terkandung penyakit sedangkan pada sayap satunya terkandung obat penawarnya, dimana Rasulullah lebih dahulu menyebutkan sisi sayap yang terkandung penyakit (Lihat Kitab Shahih Bukhari (Hadist no.3142) dan kitab lainnya. Pent). Dan masih banyak hadist-hadist shahih lainnya (yang mereka tolak) yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil (terpercaya). Bahkan, mereka mencela para periwayat hadist-hadist tersebut, dari kalangan sahabat maupun tabi’in sekalipun; dan juga mencela orang-orang yang telah disepakati keadilan dan keimanan mereka oleh para muhadditsin (ahli hadist). Semua itu mereka lakukan untuk membantah siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka. Mereka menolak fatwa-fatwa dari orang-orang yang menyelisihi mereka dan menjelek-jelekannya dihadapan khalayak manusia, untuk menjauhi umat Islam dari Sunnah dan orang-orang yang mengikutinya.
[3]. Mereka Menerka-Nerka Maksud Perkataan Yang Ada Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Yang Berbahasa Arab.
Mereka menerka-nerka maksud perkataan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, padahal mereka tidak memiliki ilmu bahasa Arab yang cukup untuk memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu. Akhirnya mereka membuat kebatilan terhadap syari’at dengan pemahaman dan cara mereka, menyelisihi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka lakukan hal itu tidak lain karena berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri dan berkeyakinan bahwa mereka termasuk golongan ahli ijtihad yang berhak menetapkan hukum, padahal realitanya mereka bukan termasuk golongan tersebut.
[4]. Mereka Menyeleweng Dari Prinsip-Prinsip Agama Yang Telah Jelas Dan Mengikuti Perkara-Perkara Yang Samar (Mutasyabihat) Yang Mungkin Diperselisihkan Oleh Akal Masing-Masing Orang
Para ulama telah menetapkan bahwa setiap dalil yang didalamnya mengandung kesamaran dan kesulitan, pada hakekatnya bukanlah dalil, sampai menjadi jelas maknanya dan terang apa yang dimaksud. Karena hakekat sebuah dalil adalah keadaan dzanya sendiri harus jelas dan bisa (secara jelas pula) menunjukkan kepada sesuatu yang lain. Jika tidak demikian berarti masih membutuhkan dalil lagi. Lalu jika dalil tersebut menunjukkan akan ketidak shahihannya (sebagai Sebuah Dalil) berarti tidak layak untuk dikatakan sebagai dalil.
Sumber kekeliruan mereka dalam hal ini tidak lain adalah kebodohan mereka tentang maksud-maksud syari’at dan tidak mau memadukan dalil-dalil syar’I satu dengan lainnya. Kerena menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, dalam mengambil dalil-dalil syar’i haruslah secara utuh dan memenuhi kaidah-kaidah syar’i, misalnya.
[a]. Suatu unsur merupakan juz’iyyat (bagian) dari suatu kulliyat (kumpulan besar);
[b]. Sesuatu yang ‘am (umum) biasanya diikuti dengan sesuatu yang khas (khusus);
[c]. Sesuatu yang muthlaq (mutlak) biasanya diikuti dengan muqayyid (yang membatasi);
[d]. Sesuatu yang mujmal (global) biasanya diikuti dengan bayan (penjelas);
[e]. Dan lain-lain yang serupa dengan itu.
[5]. Menyimpangkan Dalil-Dalil Dari Arti Yang Sebenarnya
Bila ada dalil yang membahas perkara tertentu, (mereka) palingkan dari perkara tersebut kepada perkara lain dengan anggapan bahwa dua perkara itu sama. Inilah di antara bentuk penyimpangan tersembunyi yang mereka lakukan terhadap dalil-dalil dari makna yang sebenarnya. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan demikian.
Besar kemungkinan, orang yang mengakui Islam dan mengetahui tercelanya tindakan menyimpangkan kata-kata dari makna sebenarnya itu, tidak akan melakukan penyimpangan semacam itu. Akan tetapi mereka mungkin melakukan hal itu tatkala ada kesamaran yang melintas pada dirinya, atau karena kebodohan yang menghalangi dirinya untuk mengetahui kebenaran, bahkan adakalanya disertai hawa nafsu yang membutakan hatinya untuk mengambil dalil dari sumbernya. Nah, bila sebab-sebab tersebut terkumpul jadilah dia seorang pelaku bid’ah.
Penjelasannya sebagai berikut. Dalil syar’i yang mengandung suatu perintah global dalam urusan peribadatan, seperti: berdzikir, berdo’a, amalan-amalan sunnah yang dianjurkan, dan amalan-amalan lainnya yang pelaksanaannya tidak diatur tatacara pelaksanaannya oleh Allah Ta’ala, maka harus dilakukan oleh seorang mukallaf secara global juga. Jadi dalil tersebut harus dia pahami dari dua sisi: (yaitu) sisi maknanya dan bagaimana para Salafus salih mengamalkan dalil tersebut. Jiak seorang mukallaf mengerjakan perintah tersebut dengan tata cara tertentu, atau di waktu tertentu, dan dia konsisten melakukan itu sehingga dia menganggap bahwa tata cara, atau waktu, atau tempat tersebut adalah yang dimaksudkan oleh syari’at dengan tanpa dalil yang menunjukkan kepada hal itu, maka dalil yang global tersebut telah dia lepas dari makna seharusnya.
Untuk memperjelas kita berikan gambaran demikian. Kita tahu, bahwa syari’at menganjurkan kita berdzikir kepada Allah Ta’ala. Lalu ada suatu kaum yang (senantiasa melakukannya) dengan cara berjama’ah secara serempak dengan satu suara, atau pada waktu tertentu, dengan dikomandoi oleg seorang seperti yang biasa terjadi di masjid-masjid, padahal kita tahu syari’at tidak menganjurkan yang seperti itu, bahkan justeru sebaliknya. Maka, perbuatan seperti itu jelas menyelisihi kaidah. Karena, pertama, dia telah meyelisihi kemutlakan suatu dalil dengan memberi batasan-batasan tertentu sekehendak akalnya; dan kedua, dia menyelisihi orang-orang yang lebih paham tentang syari’at daripada dirinya, yaitu para Salafus shalih. Padahal Rasulullah sendiri pernah meninggalkan suatu amalan –padahal beliau senang melakukannya- karena khawatir hal itu akan diikuti oleh manusia yang kemudian diwajibkan kepada mereka. Bukankah kita mengetahui, bahwa yang senantiasa Rasulullah lakukan secara jama’ah, bila bukan shalat fardhu berarti shalat sunnah muakkad, menurut para ulama, seperti dua shalat Id, yaitu Idul Fitri dan Idul adh-ha, shalat Istisqa’ (minta hujan), shalat kusuf (gerhana matahari), atau semisalnya? Beliau tidak melakukannya secara berjama’ah untuk shalat malam dan perbuatan-perbuatan sunnah lainnya, karena shalat-shalat tersebut hanya mustahab (yang dianjurkan) saja hukumnya. Rasulullah sendiri menganjurkan kita melaksanakan shalat-shalat tersebut secara sendiri-sendiri. Hal itu tidak lain karena bisa menyusahkan bila shalat-shalat tersebut pelaksanaannya ditunjukkan dan dinampakkan (dengan berjama’ah).
Contoh kasus lain dalam hal ini adalah membiasakan berdo’a setelah sholat dengan cara bersama-sama dan mengeraskannya. Masalah ini akan dibahas secara khusus di bagian belakang Insya Allah Ta’ala.
[6]. Ada Diantara Mereka Yang Menetapkan Perkara-Perkara Syar’i Berdasarkan Takwil Yang Tidak Bisa Diterima Akal.
Mereka mendakwakan (hasil penetapannya itu) bahwa itulah yang dimaksud dan yang diinginkan oleh syari’at. Sementara mereka tidak (memahami dalil-dalil syar’I) seperti yang dipahami oleh orang Arab. Mereka berkata: “Setiap apa yang terdapat dalam syari’at, baik menyangkut hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia, masalah dikumpulkannya manusia dan membeberkannya amalan-amalan mereka (pada hari kiamat), serta perkara-perkara yang terkait dengan penyembahan (kepada Allah), maka itu adalah contoh-contoh urusan yang ghaib.”
[7]. Berlebihan Dalam Mengangungkan Guru-Guru Mereka
Mereka mendudukkan guru-guru mereka itu pada tempat yang tidak selayaknya. Kalau tidak karena berlebih-lebihan dalam beragama, berlebihan membela madzhab, dan berlebihan dalam mencintai pelaku bid’ah, tentu tidak akan ada pada pikiran seseorang untuk mengagungkan guru seperti itu. Akan tetapi Rasulullah telah bersabda.
"Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti jalannya orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta" [HR.Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669 dan yang lainnya dari hadist Abu Sa’id Al-Khudri]
Jadi, mereka itu berlebih-lebihan (terhadap guru-guru mereka) seperti halnya orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa bin Maryam, yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Ibnu Maryam". Maka, Allah berfirman:
"Artinya : Katakanlah (Wahai Muhammad), ”Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sejak dahulu telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad) ; dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus" [Al-Ma’idah : 77]
Rasulullah Bersabda:
“Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan (memuji)ku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan (memuji) ‘Isa Putera Maryam, tetapi katakanlah : (Aku ini) Hamba Allah dan Rasul-Nya". [HR. Bukhari no. 6830 dari Umar bin Al-Khathab]
Barangsiapa memperhatikan orang-orang (yang melakukan tindakan seperti di atas) niscaya akan menemukan banyak perbuatan bid’ah yang mereka lakukan dalam cabang-cabang syari’at. Karena, memang, yang namanya Bid’ah bila telah masuk ke dalam perkara pokok (ushul), maka akan mudah masuk kedalam cabang-cabangnya (furu’).
[8]. Berhujjah Dengan Mimpi-Mimpi
Hujjah yang paling lemah adalah hujjah suatu kaum yang menyandarkan kepada mimpi-mimpi untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan. Mereka biasanya berkata, “Kami bermimpi bertemu dengan si fulan, -biasanya seseorang yang shalih-, lalu dia berkata kepada kami, ‘Tinggalkan amalan itu, dan lakukan amalan ini!” Sebagian yang lain berkata, “Aku bermimpi (berjumpa) Rasulullah di waktu tidur, lalu beliau berkata begini dan memerintahkan begitu,”kemudian mengamalkan atau meninggalkan suatu amalan berdasarkan mimpinya itu, berpaling dari batasan-batasan yang telah dibuat oleh syari’at.”
Jelas itu suatu kesalahan. Karena, menurut syari’at, selain mimpi para nabi sama sekali tidak bisa diambil sebagai hukum. Mimpi-mimpi tersebut harus dikembalikan kepada hukum-hukum syari’at yang ada. Kalau cocok dengan hukum syari’at, maka mimpi tersebut boleh diamalkan, namun bila tidak cocok, maka wajib ditinggalkan dan dijauhi. Mimpi bisa kita jadikan sebagai kabar gembira atau peringatan saja ; tidak bisa dijadikan ketetapan hukum. Dan tidak bisa kita berkata, “Mimpi adalah satu bagian dari kenabian yang tidak boleh diabaikan. Bisa jadi yang mengabarkan dalam mimpi itu adalah Rasulullah, karena beliau bersabda:
"Artinya : Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar-benar telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6993, Muslim no. 2266 dari Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari no. 6994 dari Anas no. 6997 dan dari Abu Said Al-Khudri ; serta Muslim no. 2268 dari Jabir]
Jadi pengabaran beliau pada saat tidur (mimpi) sama seperti pengabaran beliau pada saat terjaga.
(Tidak bisa kita berkata seperti perkataan di atas), karena:
[1]. Jika mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian, maka mimpi tersebut bukan merupakan wahyu secara keseluruhan, melainkan hanya sebagiannya saja. Sedangkan satu bagian itu tidak bisa menduduki tempat secara keseluruhan dalam segala sisi, melainkan hanya mendudukinya pada beberapa sisi saja. Mimpi bisa dipakai sebagai bentuk kabar gembira (bisyarah) dan peringatan (nidzarah) saja, tidak menjangkau aspek hukum.
[2]. Mimpi merupakan bagian dari kenabian di antara syaratnya adalah harus merupakan mimpi yang benar dari seorang yang shalih. Padahal terpenuhinya syarat-syarat tersebut jelas membutuhkan penelitian, sehingga bisa jadi terpenuhinya dan bisa pula tidak.
[3]. Mimpi sendiri terbagi-bagi. Ada mimpi yang merupakan mimpi biasa yang datangnya dari syetan; ada yang merupakan khayalan; dan ada juga yang merupakan rekaman peristiwa yang terjadi sebelum tidur. Kapan kita bisa menentukan mimpi yang benar sehingga bisa diambil sebagai patokan hukum dan mana mimpi yang tidak benar untuk kita tinggalkan?
Mimpi yang menggambarkan Rasulullah mengabarkan tentang suatu hukum pun perlu dilihat. Bila (di dalam mimpi orang tersebut) beliau mengabarkan tentang suatu hukum yang sesuai dengan syari’at, maka (pada hakekatnya) hukum yang dipegang adalah hukum yang telah ada (dalam syari’at) tersebut. Dan jika beliau mengabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi (syari’at), maka itu mustahil. Karena setelah Rasulullah wafat, syari’at yang telah ditetapkan semasa hidupnya tidak akan manshukh (diganti dengan yang lainnya). Sebab agama Islam ini, meskipun Rasulullah telah wafat, ketetapan hukumnya tidak akan berubah dengan sebab mimpi seseorang. Karena hal itu suatu kebatilan menurut ijma’. Jadi barang siapa yang bermimpi (mendapati Rasulullah mengabarkan suatu hukum yang bertentangan dengan syari’at yang telah ada) itu, maka tidak boleh diamalkan. Dan pada saat tersebut kita katakana: Mimpi orang tersebut tidak benar. Karena kalau dia benar-benar (bermimpi) melihat Rasulullah, tentu beliau tidak akan mengabarkan sesuatu yang menyelisihi syari’at.
Sekarang, mari kita bicarakan makna sabda Rasulullah
“Artinya : Barangsiapa yang melihatku di waktu tidur, berarti ia telah melihatku.”
Dalam hal ini ada dua penafsiran, yaitu.
Pertama.
Makna hadist tersebut (adalah):
"Barangsiapa(bermimpi) melihatku sesuai bentuk di mana aku diciptakan maka ia telah melihatku; karena syetan tidak bisa menyerupaiku.”
Karena beliau tidak mengatakan, “Barang siapa yang berpendapat bahwa dia melihatku (dalam mimpi), maka dia telah melihatku”, tetapi mengatakan, “Barangsiapa melihatku (dalam mimpi) maka dia telah melihatku”. Darimana orang yang berpendapat bahwa dirinya melihat Rasulullah itu memastikan kalau yang dia lihat dalam mimpinya itu betul-betul wujud beliau? Jika dia tetap (bersikeras) telah melihat beliau, padahal dia tidak bisa memastikan kalau yang dilihatnya itu adalah betul-betul wujud beliau, maka ini adalah sesuatu yang sulit untuk dipercaya.
Kesimpulannya: Apa yang dilihat dalam mimpi seseorang bisa saja bukan Rasulullah, meskipun orang yang bermimpi meyakini bahwa itu adalah beliau.
Kedua.
Para ahli ta’bir mimpi berkata, “sesungguhnya syetan bisa mendatangi seseorang yang sedang tidur dalam bentuk tertentu, seperti dalam bentuk orang yang dikenal oleh yang bermimpi tersebut atau yang lainnya. Lalu (syetan) menunjukkannya kepada orang lain (sambil berkata): ‘Fulan ini adalah Nabi!’ Cara seperti itulah yang ditempuh syetan dalam menjalankan tipu dayanya terhadap orang yang bermimpi. Padahal, sosok Nabi mempunyai tanda-tanda tertentu. Kemudian, sosok yang ditunjukkan oleh syetan tersebut menyampaikan perintah atau larangan yang tidak sesuai dengan syari’at kepada orang (yang bermimpi). Orang yang bermimpi itu mengira kalau itu dari Rasulullah, padahal bukan, sehingga ucapan, perintah, atau larangan yang disampaikan dalam mimpi itu tidak boleh kita percaya.”
Jadi, jelaslah sudah permasalahan ini. Yaitu, bahwa suatu hukum tidak bisa diambil dari mimpi-mimpi sebelum dicocokkan terlebih dahulu dengan dalil, karena gambaran yang ada dalam mimpi kemungkinan tercampur dengan kebatilan.
Hanya orang-orang yang lemah hatinya sajalah yang berdalil dengan mimpi dalam masalah hukum-hukum (syar’i). Memang, bisa saja orang yang dilihat (dalam mimpi) itu datang dengan membawa pemberitahuan, kabar gembira, maupun peringatan secara khusus, akan tetapi para ahli ta’bir mimpi itu tidak menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan hukum dan membangun suatu kaidah. Memang sikap yang benar dalam menyikapi apa yang terlihat dalam mimpi adalah dengan selalu berpatokan dengan syari’at yang ada, wallahu a’lam.
Barangsiapa yang memperhatikan cara ahli bid’ah dalam berdalil, niscaya dia akan mengetahui bahwa mereka itu tidak memiliki alasan yang mapan. Karena alasan-alasan mereka itu terus saja mengalir berubah-ubah, tidak akan pernah berhenti pada satu alas an tertentu. Dan berdasarkan alasan-alasan itulah, orang-orang yang menyimpang dan orang-orang kafir mendasarkan penyimpanmgan dan kekufurannya, serta menisbatkan ajarannya itu kepada syari’at.
Barangsiapa yang tidak ingin terperosok ke dalam tindakan semacam itu, hendaknya mencari kejelasan jalan mana yang lurus baginya. Karena siapa yang berani meremehkan (hal ini), niscaya tangan-tangan hawa nafsu akan melemparkan kedalam berbagai kebinasaan yang tiada seorang pun dapat membebaskannya, kecuali bila Allah menghendaki lain.
[Disalin dari “Kutaib Muhtashar Al-I’tisham, Peringkas Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Penulis Abu Ishaq Ibrahim bin Musa ASy-Syathibi, Edisi Indonesia Ringkasan Al-I'tishom Imam Asy-Syathibi, Penerjemah Arif Syarifuddin, Penerbit Media Hidayah]
Selengkapnya...
Minggu, 24 Juli 2011
Riwayat-Riwayat Yang Menceritakan Kejelekan Sahabat
Oleh: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Adanya riwayat-riwayat serta atsar-atsar yang menceritakan kejelekan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan peluang besar bagi musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar, untuk berebut menghancurkan pilar-pilar Islam. Para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah sanad pertama bagi sampainya Islam kepada seluruh kaum Muslimin di dunia. Jika sanad ini runtuh, maka runtuhlah kepastian kebenaran Islam. Pada gilirannya, kaum Muslimin pun tidak akan memiliki persepsi yang satu tentang Islam. Mereka akan berselisih pemahaman, dan akhirnya akan terpecah belah. Maka terpuruklah mereka.
“Perbedaan persepsi, perselisihan paham dan perbedaan madzhab akan mengakibatkan perpecahan fisik”. [1] Apalagi jika masalahnya menyangkut masalah prinsip ajaran Islam.
Sebelum menjawab secara garis besar tentang riwayat-riwayat ini, perlu diingatkan kembali, bahwa kewajiban setiap orang beriman ialah memuji, mendoakan, memohonkan ampun, menyanjung, serta tidak mencela sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Itulah sikap Ahlu Sunnah wal-Jama’ah terhadap para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dalil-dalil tentang itu sangat banyak dan sudah banyak ditulis.
Intinya, Ahlu Sunnah wal-Jama’ah selalu selamat lidah dan hati mereka dari cercaan, celaan, kebencian dan kedengkian tehadap para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Allah memberikan sifat kepada Ahlu Sunnah sebagai orang-orang yang selamat hati dan lidah mereka terhadap para sahabat ini dengan firman-Nya:[2]
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (sesudah Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudarasaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.” [ al-Hasyr/59:10]
Berkenaan dengan ayat ini, Imam Syaukâni rahimahullah menjelaskan:
Barang siapa yang tidak memohonkan ampun kepada Allah untuk para sahabat secara keseluruhan, serta tidak memohonkan ridha Allah untuk mereka, berarti ia telah menyalahi perintah Allah dalam ayat ini. Jika seseorang mendapati suatu kebencian dalam hatinya terhadap sahabat, berarti ia telah tertimpa godaan setan dan telah dikuasai kemaksiatan yang besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia telah melakukan permusuhan kepada wali-wali Allah, generasi terbaik umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah terbuka baginya pintu kehinaan yang akan mengantarkannya masuk ke dalam neraka Jahanam, jika ia tidak segera memperbaiki dirinya dengan berlindung dan meminta pertolongan kepada Allah, supaya Allah mencabut kedengkian yang mewarnai hatinya kepada generasi terbaik dan paling utama itu.
Jika kemudian, kedengkian yang ada dalam hatinya itu meluap hingga melahirkan cacian pada mulut terhadap salah seorang di antara mereka, berarti ia telah takluk pada kendali setan dan telah terjerumus ke dalam kemurkaan Allah. Penyakit akut ini hanya menimpa orang-orang yang termakan oleh ajaran Râfidhah (Syi’ah) atau terperangkap menjadi kawan bagi musuh-musuh Sahabat. Dia dipermainkan dan ditipu oleh setan dengan kedustaan-kedustaan, cerita-cerita bohong, serta kisah-kisah khurafat (tentang Sahabat). Setan telah memalingkan mereka dari Kitab Allah, kitab yang tidak bisa disentuh oleh kebatilan, baik dari arah depan maupun dari arah belakang.[3]
Berikut ini ialah penjelasan mengenai riwayatriwayat yang menceritakan kejelekan dan kesalahan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dan dalam menghadapi riwayat riwayat yang menceritakan kejelekan dan kesalahan para sahabat, maka ada banyak hal yang harus diperhatikan:
1. Banyak di antara riwayat itu yang dusta dan palsu, seperti pemalsuan-pemalsuan riwayat yang dilakukan oleh kaum Râfidhah. Riwayat-riwayat dusta dan palsu, tentu tidak perlu lagi diperhatikan.
2. Riwayat-riwayat itu sudah banyak ditambah, dikurangi atau dirubah dari yang semestinya. Sementara itu, keutamaan para sahabat serta keadilan mereka merupakan perkara yang pasti dan meyakinkan, sehingga perkara pasti dan meyakinkan ini, tidak bisa ditinggalkan hanya karena mengikuti riwayat yang kebenarannya sudah tercampur aduk dengan kebatilan.
3. Riwayat-riwayat yang shahîh tentang kesalahan para sahabat, maka dalam hal ini, mereka ma’dzûr (termaafkan). Sebab mereka melakukannya karena ijtihad -dan mereka adalah para mujtahid yang lebih berhak untuk berijtihad dibanding para mujtahid sesudahnya. Sedangkan ijtihad dari ahli ijtihad, apabila benar, maka mendapat dua pahala. Dan apabila salah, maka mendapat satu pahala, sedangkan kesalahannya dalam berijtihad dimaafkan oleh Allah.
Dalam Shahîh Bukhâri dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَ حَكَمَ الْحَا كِمُ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أصَابَ فَلَهُ أ جْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أ جْرٌ
Apabila seorang hakim memutuskan hukum, ia berijtihad (dalam hukum itu) lalu benar ijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan hukum, ia berijtihad (dalam hukum itu), kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala. [4]
4. Para sahabat ialah manusia biasa, yang secara individual kadang melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya. Secara individual, mereka tidak ma’shum dari dosa kecil maupun besar. Tetapi jika seseorang di antara mereka melakukan dosa atau kesalahan, maka ia memiliki berbagai macam penghapus dosa. Di antaranya berikut ini:
• Mereka memiliki hasanât (amal-amal kebaikan yang banyak) yang sudah terlebih dahulu dilakukan sebelum terpeleset dalam kesalahan. Juga memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Dimana hasanât dan keutamaan-keutamaan ini akan menghapuskan dosa-dosa yang mungkin dilakukannya. Misalnya kisah Hâthib bin Abi Balta’ah. Imam Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahîh masing-masing, bahwa Hâthib bin Abi Balta’ah hendak memberitahukan kepada orang-orang musyrik Quraisy tentang rencana penyerangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekah pasca perdamaian Hudaibiyah, dengan maksud supaya orang-orang musyrikin melindungi keluarganya yang masih tinggal di Mekkah. Tetapi hal itu diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar wahyu, dan wanita musyrik yang menjadi suruhan Hâthib berhasil ditangkap.
Ketika ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu menawarkan diri untuk menghabisi Hâthib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدرًا وَمَا يُدْ رِيكَ لَعَلَّ اللَّه اطَّلعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْ تُ لَكُمْ
Sesungguhnya Hâthib telah turut serta dalam perang Badar. Tahukah engkau bahwa Allah telah menganugerahkan kedudukan kepada Ahli Badar? Sehingga Allah berfirman kepada mereka (artinya): “Lakukan apa saja yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian”? [5]
Kisah ini menunjukkan, betapapun besar kesalahan Hâthib Radhiyallahu ‘anhu, namun ia memiliki hasanât yang dapat menghapuskan kesalahan itu. Di antaranya ialah hasanât mengikut perang Badar. Membocorkan rahasia perang merupakan suatu kejahatan besar. Namun Hâthib tetap diampuni dosa-dosanya oleh Allah, karena beliau merupakan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan besar dan memiliki penghapus-penghapus dosa. Maka, tidak ada seorang pun sesudah beliau yang berhak mencercanya. Radhiyallâhu ‘anhu wa ‘an Jamî’I ash-Shahâbah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surat Hûd/11 ayat 114:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Jika hasanât yang dilakukan oleh selain sahabat saja dapat menghapuskan dosa-dosa yang ia lakukan, apalagi jika hasanât itu dilakukan oleh para sahabat.
• Sesungguhnya pelipatgandaan nilai hasanât yang mereka miliki akan lebih banyak daripada orang lain sesudah mereka, sebab mereka adalah generasi terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُو نَهُمْ ثُمَّ الَّذيْنَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orangorang yang sesudahnya lagi.[6]
• Banyak sekali penghapus dosa yang dimiliki sahabat, merupakan sesuatu yang tidak dimiliki oleh generasi sesudahnya. Misalnya: taubat, amal amal kebaikan yang banyak, syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau musibah duniawi yang dapat menghapus dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يَهُمُّهُ إِلاَّ كُفَّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَا تِهِ
Tidaklah menimpa kepada seorang mukmin, baik sakit berkepanjangan, kepayahan hidup, tidak sehat, kesedihan, bahkan kegundahan yang mengganggunya, kecuali dengan sebab itu, kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan.[7]
Jika selain Sahabat dapat terhapuskan dosanya disebabkan musibah yang menimpanya, maka terlebih lagi para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum
5. Apabila dosa serta kesalahan sahabat yang jelas jelas saja diampuni dosanya, maka apalagi kesalahan-kesalahan yang masih dugaan yang diakibatkan karena ijtihad.
Jadi kesimpulannya, kesalahan yang dialami sahabat, disamping begitu sedikitnya kesalahan itu, hanya terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama, karena ijtihad yang salah. Dalam hal ini, mereka tetap mendapat pahala, sedangkan kesalahannya mendapat ampunan. Kedua, kesalahan yang bukan karena ijtihad. Dan ini lenyap dengan banyaknya hasanât serta keutamaan luar biasa yang dimiliki Sahabat.
Di antara keutamaan besar Sahabat, secara garis besar sebagai berikut :
• Iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini merupakan amal paling utama.
• Jihad fi sabilillah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi kalimat Allah, dan ini merupakan dzirwah sanami al-Islam (puncak Islam tertinggi).
• Hijrah fi Sabilillah. Ini termasuk amal yang paling utama.
• Membela Dinullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang mereka:
وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. [al-Hasyr/59:8].
• Ilmu nafi’ (bermanfaat) yang dimiliki oleh para Sahabat dan amal shalih mereka.
• Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umat terbaik sesudah para nabi Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
• Mereka adalah generasi umat Islam terbaik.
Demikianlah, semoga makalah ini dapat menjadi sumbangsih bagi upaya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Islam, upaya menjaga keutuhan ajaran Islam, dan upaya memahamkan kepada umat tentang kedudukan tinggi para sahabat, sehingga umat tidak mudah dipengaruhi oleh kedustaan para musuh sahabat yang dihembuskan secara lembut.
Nas’alullâha at-Taufiq wa as-Sadad.
Marâji’:
1. Al-I’tishâm, Imam asy-Syâthibi. Tahqîq: Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilâli, Dâr Ibnu al-Qayyim dan Dâr Ibnu ‘Affan, Cetakan II, 1427 H/2006 M.
2. Fathu al-Bâri Syarh Shahih al-Bukhâri, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
3. Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, 1417 H/1996M.
4. Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithhiyyah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah
al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan VI, 1413 H/1993 M.
5. Tafsir Fathu al-Qadîr, Imam asy-Syaukâni (wafat 1250 H), Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tauzî’ Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-I’tishâm.
[2]. Sebagaimana dikemukakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihat Syarh al-Aqîdah al-Wâsithhiyah, karya Syaikh Shâlih bin
Fauzân al-Fauzân, hlm. 184.
[3]. Lihat Tafsir Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukâni (wafat 1250 H), Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tauzî’ Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, tanpa tahun V/202, tentang Qs. al-Hasyr/59 ayat 10.
[4]. HR Bukhâri, Kitab al-I’tishâm bi al-Kitâb wa as-Sunnah, no. 7352 dan Muslim, Kitâb al-Aqdhiyah, Bab: Bayân Ajri al-Hâkim idza Ijtahada, no. 4462. II/239-240 – Syarh Nawâwi, Tahqîq: Khalîl Ma’mun Syiha.
[5]. Lihat Fathu al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, VII/519, hadits no. 4274, Kitab al-Maghâzî dan Muslim Syarh Nawawi, XVI/272-273, hadits no. 6351, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.
[6]. HR Bukhâri dan Muslim, dari hadits Ibnu Mas’ûd. Lihat Fathu al-Bâriy, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, V/259, hadits no. 2652, dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, XVI/302-303, hadits no. 6419, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha.
[7]. HR Bukhâri, Kitab al-Mardhâ, no.5641 dan 5642. Muslim, Kitab al-Adab: al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. 6513, XVI/326 – Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.
Senin, 04 Juli 2011
ANTARA IJTIHAD DAN TAKLID
Oleh
Ustadz Azhar Robani
Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam mujtahid.
Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.
Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam.
Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain? Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy Syarif. Semoga bermafaat.
IJTIHAD
Pengertian Ijtihad, menurut makna leksikal berarti mencurahkan semua kemampuan untuk menghasilkan perkara yang besar. Adapun menurut istilah, ijtihad ialah, mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Adapun seorang yang mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui hukum syar’i, disebut mujtahid.
Dengan demikian, seorang yang mengambil sebuah kitab, melihat kandungannya, dan menghukumi dengan hukum yang sesuai dengan kitab tersebut, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai mujtahid, karena dia hanya mengikuti penulis kitab. Adapun orang yang meruju‘ kepada kitab-kitab dan mengkajinya bersama ulama untuk merumuskan hukum dalam suatu masalah sehingga berhasil menyimpulkan suatu hukum tertentu, maka orang ini dinamakan mujtahid, karena telah mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahuinya.
Syarat-Syarat Berijtihad
1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.
Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus diketahui karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.
2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, bisa jadi, dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak hadits yang shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki ilmu hadits dan rijalnya.
3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara - Perkara Yang Sudah Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan hukumnya telah dihapus.
Demikian juga masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama, seorang mujtahid, harus mengetahuinya agar tidak menghukumi dengan sesuatu yang menyalahi ijma’. Oleh karena itu, sebagian ulama muhaqqiq, apabila mereka menyatakan suatu pendapat dan belum mengetahui keberadaan pendapat yang menyelisihinya, mereka menggantungkan penetapan hukumnya dengan “bila tidak ada ijma”. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang masuk kategori ulama yang paling luas penguasaannya tentang khilaf, kadang-kadang dia mengatakan “pendapat ini benar, jika ada ulama yang mengatakannya”. Artinya, jika tidak ada orang yang mengatakannya, maka perkataan tersebut tertolak karena menyelisihi ijma’.
4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam dalil-dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbedabeda, misalnya seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan lain-lain. Sebab, kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi dengan keumuman kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.
Sebagai contoh, seseorang membaca hadits “Di dalam panenan yang diairi dengan air hujan zakatnya sepersepuluh”.[Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1412]
Di dalam hadits ini terdapat dua keumuman. Yaitu keumuman dalam ukurannya, dan keumuman dalam jenisnya. Ukurannya, mencakup ukuran sedikit dan banyak. Dan jenisnya, mencakup setiap jenis yang diairi oleh air hujan. Lalu dia memegangi hadits ini dan berkata “Zakat wajib dikeluarkan dari hasil panenan yang keluar dari bumi dari jenis apa saja, dan dengan ukuran berapa saja”. Ini adalah keliru, karena dia harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berupa takhshish yang terdapat dalam dalil lain. Yang benar, dua keumuman tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi “Tidak ada (kewajiban) shadaqah (zakat) dalam panenan yang kurang dari lima wasaq”. (Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1541 dan Muslim no. 1541) Dengan demikian, maka tidak wajib zakat kecuali jika hasil panenan bisa diukur dengan wasaq (nama takaran) dari jenis makanan, dan ukurannya sudah mencapai lima wasaq.
5. Mengetahui Dalalah Lafazh-Lafazh (Karakter Petunjuk Kata) Dalam Bahasa Arab Dan Ushul Fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui dalalah lafazh-lafazh, seperti ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan dan lain-lainnya. Dengan demikian, dia bisa menghukumi sesuai dengan dalalah-dalalah tersebut. Seseorang, apabila tidak mengetahui apa yang dinamakan ‘amm – misalnya- maka ia tidak tahu bahwa lafazh ini berarti umum atau khusus, sehingga tidak mungkin bisa beristimbat hukum secara benar. Karena bisa jadi, lafazh yang tidak umum dianggap umum, dan dia tidak mengetahuinya. Seperti itu juga pada dalalah lafazhlafazh lainnya.
6. Memiliki Kemampuan Untuk Beristimbat Hukum Melalui Dalil-Dalilnya.
Pada hakikatnya, syarat ini adalah sebagai output (buah) dari syarat-syarat sebelumnya. Terkadang seseorang memiliki syarat-syarat di atas, tetapi tidak bisa beristimbat dan justru bertaklid kepada orang lain. Dia berpendapat dengan pendapat yang dikatakan oleh orang lain. Maka seorang mujtahid, harus memiliki kemampuan untuk beristimbat (menarik kesimpulan) hukum dari dalil-dalilnya.
BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU MASALAH SAJA?
Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah tertentu dari masalahmasalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid pada selain bab atau masalah tersebut.
Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua sepatu, lalu dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai bisa menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah. Maka orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan dalam bab lainnya.
APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?
Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah mencurahkan semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan perkataanperkatan ulama, lalu kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib baginya untuk menghukumi dengan hukum maka dia mendapatkan satu pahala. [Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716]
Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala bersusah payah.
Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran. Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang berarti menampakkan kebenaran.
Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Allah berfirman, artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘ : 7].
TAKLID
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid. Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah, maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang lain dengan dasar hujjah, maka bukan muqallid.
Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al Kitab dan Sunnah.
Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi, orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.
Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya : Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, taklid yang tercela sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.
Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian pertama, menamakan taklid pada macam yang kedua. Padahal sebaiknya, jenis taklid ini diberi nama tersendiri yang membedakannya dengan taklid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam penggunaan istilah.
Ada juga ulama yang tetap mencela taklid secara umum, dan memberikan nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.
Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam menjelaskan hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa wajib bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu bertaklid kepadanya. Taklid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti kamu berittiba’ kepadanya. Ittiba` di dalam agama itu benar, dan taklid dilarang.
Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti yang mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara ijtihad dan taklid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang ‘alim (berilmu) tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari semata-mata pendapatnya dan ijtihadnya”.
Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil kepada orang ‘alim dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang awam, (yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusanurusan agamanya”.
KAPAN SESEORANG BERTAKLID?
Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua keadaan.
Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri. Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah berfirman, artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘:7]
Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.
Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim mengatakan “perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada seorang alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya, tetapi hendaknya bertaklid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran karena keilmuan dan kewara`annya.
Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia juga tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.
Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau bertaklid kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin, perkataan Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama lain. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaklid kepada yang lain, karena pendapat yang rajih ialah, apabila ada dua orang ‘alim, salah satunya lebih utama dari pada yang lain, maka tidak mesti wajib bertaklid kepada yang lebih utama, tapi boleh juga bertaklid kepada yang tingkatannya di bawahnya.
MACAM-MACAM TAKLID
1. Taklid Umum.
Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimahazimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh, seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah, masalah-masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah selain itu.
Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”. Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taklid umum. Yaitu seseorang bertaklid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada perkataan Nabi.
Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah [Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]
Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang teguh secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya pada pendapat yang mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya terdapat hal yang sama”.
2. Taklid Khusus.
Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh Utsaimin menjelaskan perihal taklid khusus ini dengan mencontohkan tentang dirinya. Beliau bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang dalilnya tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan waktunya sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah ini secara khusus.
Taklid khusus ini diperbolehkan, apabila seseorang tidak mampu mengetahui kebenaran dengan berijtihad, baik karena benar-benar tidak mampu, atau mampu tetapi sangat berat melakukannya.
PENUTUP
Dari pemaparan uraian ini, kita bisa mengetahui, bahwa itjihad merupakan perkara yang memiliki konsekwensi. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, karena untuk bisa berijtihad, seseorang harus memiliki dan menguasi seperangkat ilmu pendukungnya. Begitu pula bagi seorang alim yang memiliki kemampuan, namun manakala telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka ia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Terlebih lagi dengan diri kita sebagai orang awam, atau orang yang baru mempelajari masalah din, tentu tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.
Dalam masalah taklid, terbagi menjadi dua macam, yang terpuji dan tercela. Taklid yang terpuji ialah, mengambil perkataan orang lain dengan hujjah. Taklid terpuji juga mempunyai nama lain, yaitu: ittiba’, su‘alul ‘alim (bertanya kepada ulama), dan ijtihad orang awam. Adapun taklid yang tercela ialah, mengambil perkataan orang lain tanpa hujjah. Tentu di dalam berijtihad ataupun bertaklid, seseorang harus menimbangnya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi n dan Ijma’.
Maraji‘ :
- Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit Al Mktabah At Taufiqiyah, Al Qahirah – Mesir.
- Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzhabiyyah , Muhammad Syakir Asy Syarif, cet. I th 1408 H
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]